BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Nabi Muhammad menduduki jabatan penting, sebagai pimpinan agama
maupun pimpinan negara (politik) khususnya di saat di Madinah. Kepentingan umat
diatur berdasarkan wahyuturun, hal- hal di luar wahyu dimusyawarahkan dengan
para sahabat. Saat Nabi wafat, proses suksesi muncul. Memilih orang yang dapat
menduduki dua jabatan rangkap sekaligus, yaitu pimpinan spiritual dan politik.
Atas dasar musyawarah dari beberapa kelompok sekarang kita kenal perwakilan-parlemen Ahlul
Halli wal Aqdhi, akhirnya memilih Abu Bakar sebagai gantinya. Jabatan ini
dipegang selam 2 tahun. Beliau lebih senang disebut khalifatal-rasul.
Sinergitas antara Abu Bakar dan \'Umar ibn Khottob dalam menjalankan
pemerintahan cukup kompak. Para pembangkangan,yang terdiri dari kalangan murtad
dan nabi-nabi palsu ditangani secara serius, sehingga kelompok-kelompok sparatis
ini luluh dan tidak berdaya. Salah satu tokoh harismatik yang ikut tampil dalam
mengatasi problim ini adalah Khalid ibn Walid. Sebelum ajal, Abu Bakar berpesan
(wasiat) agar yang melanjutkan roda pemerintahan dan sekaligus tokoh agama
adalah Umar ibn Khattab. Selama 10 tahun pemerintahannya dipegang cukup maju
dan berkembang pesat. Ekspansi pemerintahan ini sampai ke wilayah Afrika,
seperti Mesir dan negara-negara di wilayah utara Arab Saudi. Penatan di sektor pemerintahan
cukup menonjol, seperti mendirikan peradilan pidana dan perdata. Menggaji tentara,
menertibkan administrasi negara dll. Dalam kajian peradaban Islam. Masa Umar dianggap
sebagai masa kejayaan Islam pertama. Umar terkenal dengan Amir al-mukminin.
'Usman ibn 'Affan memimpin pemerintahannya selama 12 tahun. Di saat
memasuki usianya 70 tahun Usman banyak di dikte oleh keluarganya yang bernama
Marwan ibn Hakam yang sering membisikinya. Model pemerintahannya keluarga
sentris. Kelurganya itu gemar menggunakan kekayaan negara yang tidak dapat
dikontrol oleh Usman ibn 'Affan sehingga pemerintahannya rapuh dan dan terjadi
beberapa pemberontakan di mana-mana. Disintregrasi tidak dapat dibendung lagi,
beliau kemudian di bunuh. (awal masa disintegrasi).
Ali kemudian dibai'at oleh masyarakat secara berramai-ramai. (masa
puncak disintegrasi, chaos- kacau balau). Wilayah kekuasaan Islam saat ini
sangat luas. Diduga beberapa pejabat tinggi negara di wilayah utara seperti
Gubernur dll, tidak mengetahui proses suksesi tersebut, karena jaraknya yang
amat jauh dan sistem informasi masih sangat sederhana. Muawiyah ibn Abu Sufyan
salah satu gubernur di Damaskus, dipecat oleh 'Ali, tidak mau turun dari
jabatannya. Gubernur-gubernur yang diangkat Usman dicopot, karena dianggap
melakukan konspirasi (persekongkolan) dengan rakyat untuk menentang 'Ali kw.
Tanah yang diberikan penduduk di saat 'Usman, diminta kembali oleh 'Ali kw,
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dengan model pajak
tahunan. Pada sisi lain, 'Ali mendapat perlawanan dari Thalhah, Zubair dan 'Aisyah
ra. Mereka menuntut agar pembunuh 'Usman di adili. 'Ali kw akhirnya menghadapi
dua musuh. Satu, berhadap-hadapan dengan Thalhah cs, maka terjadi perang jamal
(perang unta), dua, menghadapi Muawiyah cs, lalu terjadi perang siffin. Perang
ini kemudian memunculkan tahkim (arbitrase). Tahkim melahirkan persoalan baru.
Sekian banyak orang yang tidak setuju, keluar dari barisan 'Ali (khawarij),
mengakibatkan tentaranya menjadi lemah. Lahir tiga kekuatan :
a). kelompok 'Ali kemudian lahir istilah Syi\'ah
b). kelompok Mu'awiyah ibn Abi Sufyan dan
c). kelompok khawarij (garis keras) yang menentang kebijakan 'Ali
dalam tahkim tersebut dan d). kelompok I'tizal (netral), memisahkan diri dari mereka.
Pada tanggal 40 ramadhan Ali Terbunuh oleh Ibnu Muljam, Masa ini kemudian
disebut sebagai akhir kekuasaan al-Khulafaal-Rasyidun.
Kedudukan khalifah setelah 'Ali kemudian diganti oleh putranya Hasan. Hasan lemah, lalu mengikat perjanjian dengan Mu'awiyah. Mu\'awiyah semakin kuat dan untuk seterusnya penguasa dijabat oleh putra-ptranya, dan dikenal monarchi heriditas (raja turun temurun).
Kedudukan khalifah setelah 'Ali kemudian diganti oleh putranya Hasan. Hasan lemah, lalu mengikat perjanjian dengan Mu'awiyah. Mu\'awiyah semakin kuat dan untuk seterusnya penguasa dijabat oleh putra-ptranya, dan dikenal monarchi heriditas (raja turun temurun).
B.Perumusan Masalah
1.Apa dan Bagaimana Sistem Siyasah (Politik ) Yang dijalankan Pada
Masa Pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidiin .?
2.Bagaimana Sistem Siyasah yang dijalankan Pada masa pemerintahan
Abu Bakar ?
3. Bagaimana Sistem Siyasah yang dijalankan Pada masa pemerintahan
Umar Bin Khatab ?
4. Bagaimana Sistem Siyasah yang dijalankan Pada masa pemerintahan
‘ Utsman Bin Affan
5. Bagaimana Sistem Siyasah yang dijalankan Pada masa pemerintahan
‘Ali Bin Abi Tholib.?
C.Tujuan
1.Untuk mengetahui Bagaimana Siyasah atau politik yang dijalankan
Pada masa Pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidiin
2.Untuk Mengetahui bagaimana kebijakan politik (siyasah) yang
dijalankan pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar
3. Untuk Mengetahui bagaimana kebijakan politik (siyasah) yang
dijalankan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar Bin Khatab
4. Untuk Mengetahui bagaimana kebijakan politik (siyasah) yang
dijalankan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman Bin Affan
5. Untuk Mengetahui bagaimana kebijakan politik (siyasah) yang
dijalankan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Ali bin Abi tholib
PEMBAHASAN
Kalau dilihat agama dari sudut pandang
intrinsik dan maka agama menurut
definisi Edward B (1874), adalah "keyakinan akan adanya entitas spiritual".
Memahmi agama dalam definisi yang lebih kompleks, agama adalah "suatu
sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat,
mendalam, dan bertahan lama pada diri manusia dengan memformulasikan
konsepsi-konsepsi keteraturan umum mengenai keberadaan dan menyelimuti
konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan
motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada," bagaimana
diformulasikan oleh Clifford Geertz (1966).
Dalam kehidupan manusia,
agama menjadi seperangkat pedoman hidup, yakni satu-satunya pedoman yang dapat
menjelaskan keberadaan manusia kini, asal usulnya, dan masa depannya setelah
mati. Tidak ada pedoman lain dalam kebudayaan manusia yang mampu memberikan
penjelasan mengenai eksistensi manusia selengkap yang dilakukan agama. Sebagai
kompleks ajaran, agama bersifat netral.
Dalam ayat-ayat Kitab Suci. Manusialah
yang kemudian menjadikannya faktual sebagai bagian integral dari kehidupan dan
kebudayaannya, yang menyelimutinya dengan sebuah selubung duniawi sehingga
ajaran-ajaran abstrak itu seolah-olah konkret, dan dapat digunakan untuk
bertindak terhadap manusia lain atas nama agama. Dengan konkretisasi,
interpretasi, dan formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia
memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai instrumen kekuasaan.
Pertentangan antar penganut agama di mana-mana adalah contoh instrumentalisasi
agama tersebut.
Selain dimensi intrinsik agama dan
dinamikanya itu, instrumentalisasi agama kerapkali ditempeli oleh muatan
potensi integratif maupun disintegratif. Ketimbang menanggapi agama
dari potensinya yang pertama, banyak orang justru lebih cenderung melihat aspek
disintegratif karena perpecahan dan perbedaan agama jauh lebih buruk dan mengerikan daripada aspek
integratifnya. Maka dari titik ini agama mulai diawasi ruang geraknya, apakah
ajaran-ajaran doktrinernya sudah menjurus kepada pemecahbelahan umat atau masih
pada batas-batas aman. Dalam konteks ini
tidak lagi jelas batas-batas antara "kenetralan agama sebagai kompleks
doktrin ajaran dan penggunaan doktrin agama dalam bentuk
penerjemahan menjadi faktual
atau menggunakan sebagian ajaran
yang relevan dengan kepentingan duniawi pada suatu saat."
Agama secara kesatuan dapat menjadi ancaman atau sahabat, yang keduanya
patut dicermati secara sungguh-sungguh agar diketahui ke arah mana
kecenderungan itu bergerak. Dinamika
hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam konteks instrumentalisasi itu.
Ada tiga kemungkinan skenario politik
keagamaan. Pertama, agama dan negara terpisah satu sama lain. Doktrin agama
hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat, yang
berwadahkan keorganisasian didalam mesjid, gereja, kuil, klenteng, dan
sebagainya. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam
institusi keagamaan tersebut, dan konsep keselamatan (salvation) menjadi
sentral dalam agama, karena dalam
dudukan ini agama adalah penganjur perdamaian, kebajikan, kasih sayang,
dan persaudaraan. Kekacauan
Kedua, agama
dan negara terikat satu sama
lain dalam pengertian bahwa agama memberi corak
dominan atas negara. Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam
sebagian besar institusi negara, seperti institusi politik,ekonomi, hukum, dan lainnya. Apabila perangkat doktrin
agama sudah mengalami internalisasi dalam pikiran
manusia, menjadi bagian dari kebudayaannya, maka ajaran-ajaran tersebut menjadi
luwes untuk diinterpretasi sesuai dengan kepentingan dan lingkungannya. Adanya
aneka ragam variasi praktek keagamaan di muka bumi adalah hasil interpreters
kebudayaan itu. Interpretasi itulah, misalnya, yang membuahkan sistem politik
Islam, sistem ekonomi Islam, sistem hukum Islam, sistem pemerintahan Islam, dan
seterusnya. Oleh karena setiap agama diyakini secara mutlak oleh penganutnya.
maka dalam kehidupan yang nyata sukar bagi segolongan penganut agama tertentu
menerima praktek kenegaraan yang berasas sepenuhnya pada agama lain yang tidak
diyakininya. Akibatnya, perbedaan agama yang pada dasarnya netral berubah
menjadi rasionalisasi perang ideologi.
Akhimya, yang ketiga, agama ditempatkan dalam suatu
sistem negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi
menjadi salah satu unsur saja dari sistem yang dipandang saling tergantung
dengan unsur-unsur lain. Kebijakan-kebijakan yang merupakan konkretisasi
pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap
unsur-unsurnya, termasuk unsur agama, agar selalu terwujud keteraturan yang
harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil apa pun, langsung
diredam oleh negara (pemerintah), sehingga keseimbangan tercapai kembali.
Pendekatan sistem ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam kedudukan
sentral, yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem, dan bahkan
mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat, karena
sistem, yang posisinya telah merosot menjadi sub ordinat, kehilangan kekuatan
untuk mengontrol negara.[1][1]
Di kalangan umat Islam ada pendapat bahwa
Islam adalah agama yang komprehensif. Didalamnya terdapat sistem politik dan
ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid
Ridha, Hasan Al-Banna dan Al-Maududi meyakini bahwa "Islam adalah agama
yang serba lengkap." Didalam ajarannya antara lain terdapat sistem
ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam
hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu atau
bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau
politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh
Nabi Besar Muhammad dan oleh empat Al-Khulafa al-Rasyidin. Sayyid Quthb, penulis
tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, juga berpendapat bahwa Islam adalah agama
yang sempurna dan amat lengkap sebagai suatu sistem kehidupan yang tidak saja
meliputi tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga sistem politik termasuk
bentuk dan ciri-cirinya, sistem ma-syarakat, sistem ekonomi dan sebagainya.
Paradigma pemikiran bahwa Islam (dalam
pengertian pertama) adalah agama yang serba lengkap dan didalamnya terdapat
berbagai sistem kehidupan seperti sistem ketatanegaraan, secara sepintas
dibenarkan oleh al-Qur'an sendiri sebagai dinyatakan pada tiga ayat berikut:
Pada hari ini (masa haji wadd , hajiyang terakhir dilaksana-kan oleh Nabi) telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhai Islam itu
menjadi agama bagimu.(Q.S.M-Mdidah/5:3) Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di
dalam al-Kitah (al-Qur'an) (Q.S.Al-An'am/6:38)
Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab
(al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserahdiri.(Q.S.Al-Nahl/16:89)
Namun ayat-ayat ini harus diapresiasi
apakah maknanya mendukung pendapat di atas. Ayat pertama mengandung maksud
bahwa Islam sebagai agama (din), yang diwahyukan kepada para Nabi
mulai dari Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir, menjadi sempurna ajarannya dan
menjadi sempuma wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad.
Tafsir Al-Thabari menyebutkan bahwa takwil
ayat tersebut adalah Allah menyempurnakan kewajiban-kewajiban, hukum-hu-kum,
perintah dan larangan, yang halal dan yang haram, dan berbagai ibadah yang
berhubungan dengan urusan agama bagi manusia serta wahyu diturunkan kepada
Rasul-Nya.
Sedangkan pernyataan ayat kedua dan ketiga
tidak berarti al-Qur'an mengandung sistem politik, sistem ekonomi, sistem
sosial dan sebagainya. Tapi yang dimaksud dengan "al-Qur'an sebagai
penjelasan bagi segala sesuatu dan didalamnya tak luput "sesuatu apa
pun" adalah berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan dan pokok-pokok
kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Qur'an memang menekankan bahwa antara urusan
kepentingan dunia dan urusan kepentingan akhirat adalah dua kutub yang tidak
dapat dipisahkan melainkan harus dilaksanakan secara integral dan seimbang. Seperti
pernyataan: Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia (maka ia merugi),
karena di sisi Allah adapahala dunia dan akhirat. (QS. al-Nisa'/4:134) Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, danjanganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenik-matan) duniawi dan
berbuat baiklah kepada orang lain sebagai-mana Allah berbuat baik kepadamu dan
janganlah membuat kerusakan di muka bumi. (Q.S.Al-Qashash /28:77) Jadi
kebahagiaan manusia di akhirat kelak berpangkal pada kuantitas dan kualitas
karya dan amal perbuatannya di dunia, baik amal yang berhubungan dengan Tuhan
maupun amal yang berhubungan dengan sesama manusia dan lingkungannya.
Bagaimana mewujudkan dua tujuan tersebut
al-Qur'an tidak menjelaskan rincian teknis pelaksanaannya, melainkan hanya
dalam bentuk pernyataan global atau dasar-dasar saja. Masalah ibadah umpamanya
(salat, haji, zakat). Al-Qur'an tidak menjelaskan rincian tata cara
pelaksanaannya. Nabilah yang menjelaskan melalui SunnahNya. Demikian pula masalah
muamalah (politik dan kemasyarakatan) al-Qur'an tidak mematok teknis pelaksanaannya.
Ia hanya menjelaskan pokok-pokok saja sebagai basis spiritual dan moralitas
dalam mengatur hidup bermasyarakat dan bernegara. Artinya al-Qur'an tidak
menetapkan sistem politik dan pemerintahan, sistem sosial dan sebagainya secara
absolut dan tertentu yang harus diikuti oleh umat Islam. Ia hanya menetapkan
dasar-dasar dan prinsip-prinsipnya saja. Tapi dengan berpedoman kepada
prinsip-prinsip tersebut, dapat dirumuskan sistem politik dan pemerintahan
Islam, sistem ekonomi Islam, sistem sosial Islam dan sebagainya sesuai dengan
tuntutan zaman dan tempat.
Dengan demikian pernyataan tiga ayat yang
dikemukakan di atas tidak dapat disimpulkan bahwa sekalipun al-Qur'an memuat
mengenai banyak hal, namun tidak berarti ia mengandung segala-galanya, dan
al-Qur'an dapat memberi jawaban secara langsung terhadap segala masalah yang
dihadapi manusia. Tapi dengan kajian yang luas dan intensif terhadap
ayat-ayatnya, ia dapat difiingsikan menjawab berbagai masalah.
Karena itu dapat dipahami usaha ulama
fikih menerapkan metode qiyas di dalam menetapkan hukum sesuatu hal yang
tidak ada penjelasan nash hukumnya dengan cara mengaitkannya dengan
sesuatu hal yang ada nash hukumnya dalam al-Qur'an dan Sunnah karena ada
analogi Mat hukum pada kedua hal tersebut. Demikian pula terapannya
kepada kaidah fikih lain. Sebagai upaya untuk mengembangkan hukum Islam. Ini
menjadi bukti bahwa al-Qur'an dan bahkan Sunnah tidak mengandung segala-galanya
dan mampu secara langsung menjawab seluruh masalah.
Permasalahan tersebut menjadi lebih jelas
dengan memper-hatikan ayat dan hadits-hadits di bawah ini, yang dikategorikan
sebagai dasar dan prinsip-prinsip ajaran Islam tentang hidup bermasyarakat dan
bernegara.[2][2]
Khilafah, Imamah, Imarah, dan Sulthaniyah
1. Khilafah
Pembahasan Khilafah secara bahasa
berkaitan erat dengan bentukan kata
tersebut. Kata "khilafah" seakar dengan kata
"khalifah" (mufrad), khaldif (Jama1), Adan Khuldfa
(Jama1)". Semua padanan kata tersebut berasal dari kata
dasar (fi'il madi), kholafa.
Kata ''khalifah", dengan segala padanannya, telah
mengalami perkembangan arti, baik arti khusus maupun umum. Dalam First
Encyclopedia of Islam, khalifah berarti Vakil" (deputy),
"pengganti" (successor), "penguasa" {vicegerent),
"gelar bagi pemimpin tertinggi dalam komunitas muslim" (title
of the supreme head of the muslim community)} dan bermakna. "pengganti
Rasulullah". Makna terakhir senada dengan Al-Maududi bahwa khalifah adalah
pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasul.
Secara istilah, Al-Raghib Al-Isfahani
dalam kitabnya Mufraddtfigharib Al-Quran y menjelaskan bahwa
"menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang
digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Penggantian
tersebut dapat terlaksana, baik akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau
ketidakmampuan orang yang digantikan dan dapat juga akibat penghormatan yang
diberikan kepada yang menggantikan"
Makna khalifah digunakan oleh
Al~Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun
terbatas. Dalam hal ini Daud [947-1000 SM] mengelola wilayah Palestina,
sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya
pada awal masa sejarah kemanusiaan. Mufassir lain, misalnya Al-Maraghi,
mengartikan khalifah sebagai "sesuatu jenis lain dari makhluk
sebelumnya, namun dapat pula diartikan, sebagai pengganti (waktu) Allah SWT.
dengan misi untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap manusia".
Terhadap arti pertama, Al-Maraghi hampir senada dengan kebanyakan mufassir, dan
terhadap arti yang kedua, ia menyandarkan kepada firman Allah kepada Nabi Daud
agar menjadi pemimpin atas kaumnya, yaitu: Artinya: "Hat Daud,
sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. (Q.S.
Shad: 26).
Abdur Raziq berpandangan bahwa "agama
Islam tidak mengenal lembaga kekhalifahan. Lembaga ini tidak ada kaitannya
dengan tugas-tugas keagamaan, melainkan tugas-tugas peradilan dan lain-lain
dari pelaksanaan kekuasaan dan negara. Agama tidak mengakui dan tidak mengingkati,
tidak memerintah dan tidak melarang. Agama menyerahkan semua itu kepada pilihan
yang bebas dan rasional. Pandangan senada diungkapkan Qamaruddin Khan, bahwa
kata-kata khalifah di bumi ini bermakna memerintah di bumi ini adalah
sesuatu yang dipaksakan terhadap Al-Quran
Politik dan tidak menunjukkan adanya teori
ketatanegaraan apa pun. Demikian pula, ayat-ayat lain, tidak bisa dimanfaatkan
untuk memolakan teori politik tata pemerintahan. Lebih lanjut, Qamarudiin Khan
me-ngatakan bahwa, tidak ada satu ayat pun yang mengisyaratkan teori politik
pemerintahan.Berbeda dengan yang lain, Ibnu Khaldun, berpandangan bahwa
khalifah adalah "tuntutan syariah dalam menegakkan agama dan mengatur
urusan dunia (sosial politik), guna mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat.
Karena kemaslahatan akhirat lebih utama, menurut Ibnu Khaldun, semua
kepentingan dunia harus disesuaikan dengan hukum syariat agama. Di samping itu,
khilafah pada hakikatnya menobatkan diri sebagai pengganti pembuat
undang-undang (Nabi-Rasul) memelihara kewibawaan syariat dan mengatur urusan
keduniawian".
As-Suyuti mengutip pendapat Al-Farusi dan
Muawiyyah, bahwa khilafah adalah "kepala pemerintahan umat Islam. Pendapat
ini di-kemukakan pula oleh Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi. Pendapat lainnya
dikemukakan oleh Al-Wahidi dan Asy-Syaukani. Keduanya membatasi masalah
tersebut pada pergantian kepemimpinan Nabi secara bergantian menegakkan hukum
Tuhan. Pendapat ketiga dikemukakan, misalnya oleh Al-Fairuzzabadi dari Ibnu
Abbas, A2-Zamakhsyari, dan An-Nawawi. Mereka melihat kedudukan khalifah
mencakup kedudukan raja-raja dan nabi-nabi sebagai pemerintah". Batasan
ini sarat dengan muatan politis.
Begitu pula, yang diungkapkan Al-Maududi,
bahwa "khilafah pada hakikatnya merupakan manifestasi dari anugerah Allah,
Sang Penguasa Tertinggi, Sang Hakim Agung yang sebenarnya kepada manusia yang
men-jadi wakilnya dalam menegakkan kekuasaanrxlan hukum Allah di antara
manusia. Konsekuensi logisnya, jika tidak, dan berlaku menegakkan hukum, selain
Allah, adalah merupakan pemberontakan atau kudeta melawan Sang Penguasa, Sang
Hakim Agung yang hakiki. Dengan kata lain, perilaku tersebut sama dengan
mengubah anugerah menjadi musibah".
2.
Imamah
Kata "Imamah" dakm Al~Quran diulang
tujuh kali dengan kandungan arti yang beragam,21 yakni:
Kepemimpinan
Dalam pandangan Thabathaba'i, imam atau pemimpin
adalah gelar yang diberikan seseorang yang memegang kepemimpinan masyarakat
dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik atau pula suatu aliran
pemikiran, keilmuan, juga keagamaan. Otoritas imamah juga memiliki dua sisi
yang menyatu: pertama bersifat syar'i dan kedua bersifat siyasi.4
Kata "Imamah" merupakan turunan dari
kata amama-amm. Menurut Louis Ma'luf, kata "amama" bermakna
di depan, yang senantiasa diteladani. Orangnya disebut Imam^ sedangkan
imamahnya menurutnya bermakna kepemimpinan umat. Pengertian ini sejalan dengan
pengertian khilafah. Lebih jelas tentang definisi imamah yang
hampir sulk dibedakan dengan khalifah, sebagaimana dikutip Suyuti
Pulungan (1994:45), bahwa, kebanyakan imamah didefinisikan sebagai
"kepemimpinan menyeluruh yang meliputi urusan keagamaan dan keduniaan,
sebagai pengganti fungsi Rasul SAW. Begitu pun At-Taftzani seperti yang
dikemukakan Rasyid Ridha, imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama
dan dunia, yakni suatu khilafah yang diwarisi dari Nabi SAW. Senada pula dengan
ini, pendapat Al-Mawardi yang menyatakan bahwa, "Imamah dibentuk untuk
mengganti fungsi ke-Nabian memelihara agama dan mengatur dunia. (Munawir
SadzaH, 1991:63).
Deretan definisi imamah sebagaimana
disebut di atas, sulit untuk membedakannya dengan kata "khilafah".
Hal ini diakui oleh Qamaruddin Khan, bahwasanya penggunaan terma imamah dan
khilaj"yang senantiasa dicampuradukkan sehingga membuat kebingungan
tersendki. la sendiri mengusulkan agar hanya diartikan sebagai negara atau
pemerintahan, lain tidak.
Adapun dari kalangan tokoh Syi'i yang
banyak menggunakan terma imam ketimbang terma lainnya, antara lain Ali
Syariati, menyatakan, "Imamah merupakan doktrin keagamaan yang mesti
diterima dan diimani oleh seluruh umat. Imamah bukan saja pengelola dan
pemelihara
masyarakat dalam bentuk yang mandeg, tanggung jawab
imamah yang paling utama dalam arti politik (siyasah)".
3.
Imarah
Kata "imarah" merupakan
bentuk turunan dari kata "Amira" yang berarti keamiran atau
pemerintahan. Menurut Lois Maluf (1973:192), "Imarah merupakan
sebutan jabatan untuk Amir dalam suatu negara kecil yang berdaulat, yang
bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan'5. Sementara menurut Ensiklopedi
Islam (t.t:l:128), "Amir memiliki makna beragam, yakni penguasa,
pemimpin, komandan, dan raja".
Kata "Amir" yang bermakna
konotatif kepemimpinan politis tidak digunakan dalam Al-Quran, yang ada adalah
Ulil Amri (Q.S. 4:59), yang memiliki wewenang dan kekuasaan dalam mengemban
suatu urusan> baik yang bersifat politik pemerintahan maupun yang bersifat
profesi, ataupun urusan yang bersifat ilmiah, juga termasuk syariah.
Dalam sejarah periode Islam, yakni zaman
Rasul SAW. khulafa ar rasyidin, istilah Amir (pemerintahan atau gubernur
yang sinonim dengan arti yang sering dipakai untuk menyebut penguasa di daerah,
atau sebagai Gubernur atau juga sebagai komandan milker Amir al-Jaisy atau
Amir al-Jund. Adapun makna Amir yang berkonotasi sosio-politik, yakni
sebagai pemimpin kaum muslimin, muncul di dalam pertemuan di bala Saqifa sebagaimana
diulas dalam Ensiklopedi Islam (t.t: 138-139). Pertemuan itu dilakukan
antara kaum Muhajirin dan Anshar untuk memusyawarahkan pemimpin pengganti Rasul
SAW. yang telah wafat. Ketika keduanya herkumpul, kaum Anshar berkata:
"Kami adalah Umara dan kamu .cbagai Wuzara". Akhirnya, Abu Bakr
disepakati untuk menjabat jabatan khalifah dengan gelar Khalifa al-Rasul, sedangkan
gelar Amir Al-Mukmin iliscmatkan pertama kali oleh khalifah Umar bin
Khaththak Akan tetapi kata Amir kebanyakan digunakan untuk jabatan di bawah
umum (khalifah dan Imam) atau jabatan milker.
4.
Sulthaniyah
Kata "Sulthan" yang
berakar dari huruf sin-iam dan tha bermakna leksikal kekuatan dan
paksaan. Formula kata yang termaktub dalam A1-Quran berupa kata verbal sallatha
- yusallithu" dan kata nominal "Sulthan" dengan
makna-makna yang beragam di antaranya:
1. Bukti
nyata, yaitu dalam surat Ibrahim ayat 10,11 dan 22.
2. Kekuatan
milker, yakni dalam surat An-Nisa ayat 90.
3. Kekuatan
ilmu, yaitu dalam surat Ar-Rahman ayat 33.
4. Kekuasaan:
mendistribusikan aset ekonomi (fa'i), yaitu dalam surat Al-Hasyr ayat 6.
5. Kekuasaan
hukum: meminta diyat Yaitu dalam surat Al-Isra ayat 33
6. Kekuasaan
kepemimpinan, yaitu dalam surat Saba' ayat 21 dan An-Nahl ayat 99,
7. Kekuasaan
secara umum, yaitu dalam surat Al-Haqaq ayat 20, Al-Isra ayat 80.
Dari beragam makna di atas, dapat dipahami
bahwa makna-makna itu tetap bermuara pada makna pokok, yakni kekuatan dan
kekuasaan. Sampel ayat-ayat yang paling relevan dengan bahasan, antara lain
surat An-Nisa ayat 90 yang berkenaan dengan kekuatan milker: dan Al-A'raf: 142
dan bentuk lain adalah istakhlafa-yasiakhlifu-istakhlif, antara lain
tercantum dalam Al-A'raf: 129.[3][3]
[1][1] Abdul
Halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia, Penerbit : Ciputat Press : Ciputat ,
2005, hlm 7-10.
[2][2] Suyuthi
Pulungan, Fiqih Syiyasah Ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta : LSI, hal . 1-
5 .
[3][3] Dedi
Supriyadi , Perbandingan Fiqih Siyasah , Bandung : Pustaka Setia . 2008. Hal 17
- 28
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Proses suksesi (Wali Al- Ahdi) muncul. Memilih orang yang dapat
menduduki dua jabatan rangkap sekaligus, yaitu pimpinan spiritual dan politik.
Atas dasar musyawarah dari beberapa kelompok sekarang kita kenal perwakilan-parlemen, akhirnya
memilih Abu Bakar sebagai gantinya. Jabatan ini dipegang selam 2 tahun. Beliau
lebih senang disbut khalifat al-rasul.
Abu Bakar berpesan (wasiat) agar yang melanjutkan roda pemerintahan
dan sekaligus tokoh agama adalah 'Umar ibn Khattab. Selama 10 tahun
pemerintahannya dipegang cukup maju dan berkembang pesat. Ekspansi pemerintahan
ini sampai ke wilayah Afrika, seperti Mesir dan negara-negara di wilayah utara
Arab Saudi. Penatan di sektor pemerintahan cukup menonjol, seperti mendirikan
peradilan pidana dan perdata. Menggaji tentara, menertibkan administrasi negara
dll. Dalam kajian peradaban Islam. Masa Umar dianggap sebagai masa kejayaan
Islam pertama. 'Umar terkenal dengan Amir al-mukminin.
'Usman ibn 'Affan memimpin pemerintahannya selama 12 tahun. Di saat
memasuki usianya 70 tahun Usman banyak di dikte oleh keluarganya yang bernama
Marwan ibn Hakam yang sering membisikinya. Model pemerintahannya keluarga
sentris. Kelurganya itu gemar menggunakan kekayaan negara yang tidak dapat
dikontrol oleh Usman ibn 'Affan sehingga pemerintahannya rapuh dan dan terjadi
beberapa pemberontakan di mana-mana. Disintregrasi tidak dapat dibendung lagi,
beliau kemudian di bunuh. (awal masa disintegrasi).
Ali kemudian dibai’at oleh masyarakat secara berramai-ramai. (masa
puncak disintegrasi, chaos- kacau balau). Wilayah kekuasaan Islam saat ini
sangat luas. Diduga beberapa pejabat tinggi negara di wilayah utara seperti
Gubernur dll, tidak mengetahui proses suksesi tersebut, karena jaraknya yang
amat jauh dan sistem informasi masih sangat sederhana.
B.Saran
Sebelum Penyusun akhiri, sekali lagi penulis mohon maaf apabila didalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan,Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dan dengan mengharap ridha dari Allah SWT, mudah-mudahan karya yang tidak seberapa ini menjadi amal dan berguna bagi kita semua.
Sebelum Penyusun akhiri, sekali lagi penulis mohon maaf apabila didalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan,Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dan dengan mengharap ridha dari Allah SWT, mudah-mudahan karya yang tidak seberapa ini menjadi amal dan berguna bagi kita semua.
Aamiin
DAFTAR PUSTAKA
1.Suyuthi
Pulungan (Fiqh Siyasah) Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994
2.Din
Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta:
Logos, 2002
3.
Abu
Hasan Al- Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: Darul al-Kitab
al-Arabi,
1990.
4. Munawir Sjadzali, Islam
Dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI
Press, 1993,
5. A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi
Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syari’ah,
Jakarta: Prenada Media, 2003,