Makalah Dirosah Islamiyah

BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang Masalah
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang Qathi’ (pasti, yang tidak mungkin lagi dimasuki oleh daya nalar manusia, seperti kewajiban melakukan shalat, wajib puasa, zakat dan haji. Kemudian ada lagi ayat-ayat yang zhanni (dugaan,memungkinkan beberapa pengertian dan penafsiran). Dari ayat-ayat yang bersifat zhanni ini timbul berbagai macam pendapat dan aliran dalam Islam.
Dari interpretasi yang berbeda terhadap ayat-ayat yang zhanni,  kemudian muncul berbagai macam aliran pemikiran Islam. Ini bermula ketika Nabi Muhammad SAW wafat. Di zaman Nabi pemetaan pemikiran belum terjadi karena Nabi menjadi sumber rujukan tunggal dalam memahami ayat-ayat tersebut.
Sekarang kita kenal berbagai macam pemikiran atau aliran-aliran pemikiran dalam Islam.  Hal tersebut sedikit menjelimet dan membuat kaum muslimin sedikit bingung dalam pmenyaksikan realitas yang ada. Terlebih dalam persoalan siapa yang benar dan siapa yang salah? Maka dari itu, siapa yang akan diikuti menjadi persoalan yang lebih rumit lagi.
Aliaran –aliran dalam Islam secara garis besarnya adalah tasawuf, politik, hukum, filsafat dan teologi. Masing-masing dari pembagian aliran-aliran yang telah kami sebutkan di atas. Mereka terbagi-terbagi lagi menjadi beberapa bagian.
Namun hal yang terpenting yang harus digaris bawahi sumber mereka satu yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedang realitas yang ada meman benar adanya bahwa Allah SWT menurunkan ayat yang sifatnya zhanni lebih banyak daripada ayat yang sifatnya Qhat’i. Agar daya nalar yang dimiliki oleh manusia berkembang.
Dan kami di sini ingin mengatakan perbedaan tersebut janganlah dianggap sebagai sebuah masalah, terlebih mengatakan hal itu adalah ‘aib. Tidak perlu bingung, dan menjadikannya sebagai beban yang memberatkan kehidupan kita. Yang terpenting mengikuti ajaran yang telah diyakini dengan sebaik mungkin. Dengan landasan fitrah yang menjadi neraca.

B.Rumusan Masalah
Sehubungan latar belakang masalah telah kami uraikan di atas, maka ada beberapa masalah yang akan kami rumuskan. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.Apa yang dimaksud dengan  potensi indrawi,akal dan kalbu.?
2.Apa yang dimaksud dengan dimensi islam,iman,dan ihsan.?
3.Apakah yang dimaksud dengan Aliran fiqih,kalam dan tashawuf.?

C.Tujuan Penulisan
Dengan adanya makalah yang telah kami susun ini bisa menambah khasanah keilmuan kita, khususnya dalam kajian ke-Islaman. Bukan sekadar berislam akan tetapi benar-benar mengerti apa itu Islam. Sehingga masyarakat dapat tercerahkan dengan eksisistensi yang diperkenalkan oleh pemikiran-pemikiran Islam yang mengarah kepada kepada keselamatan dunia dan akhirat.
Adapun tujuan khususnya yaitu :
1.Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan potensi Inderawi,Akal,dan Kalbu.
2.Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dimensi islam,iman dan ihsan.
3.Untuk mengetahui aliran kalam,fiqh ,dan tashawuf dalam islam.









BAB II
PEMBAHASAN


       1.  Apa itu Potensi Indrawi

Dari beberapa sudut pandang tentang keindahan dalam karya seni atau kesenian, baiklah kita melihat kembali , bahkan setiap detik, setiap menit gerak atau prilaku diri kita sendiri atau sesama kita, maaf pada tulisan ini saya tidak membicarakan perihal prilaku Hewan, prilaku manusia dapat disebut Humaniora, baik persoalan diri sendiri maupun sesamanya, dalam ruang tempat serta persolan diri dengan tuhannya (Ilahiah) artinya sudah benarkan pembenaran kehidupan dalam berprilaku mengujudkan keindahan, baik lewat potensi akal – budi, budi – daya, atau potensi indrawi saling terkait, seimbang dan dinamis.
Perilaku manusia memang persoalannya menjadi rumit, kalau benda - benda alam, termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan berkembang dan bergerak secara stabil dan konstan. Tidak demikian halnya pada manusia. Pada manusia, gerakan dan perkebangan Prilaku jestru labil tetapi tidak menentu, sejak lahir, manusia belum terkondisikan. Ia terus mencari menyesuaikan dengan kondisi alam lingkungannya, Manusia selalu mencari Pengalaman pengalaman sehingga tujuan dapat tercapai, Sukses, Bahagia sudah barang tentu kesuksesan dan kebahagian yang di dapat benar benar membawa manfaat baik terhadap dirinya maupun sesamanya (Keluarga Lingkungan masyarakatnya ).
Pencaharian-pencaharian itu tadilah manusia dengan pengalaman, pikiran, dan kemauannya untuk terdidik bisa mempertahankan untuk mengembangkan hidup dan kehidupannya, kemauan terus berkembang mengikuti Spirit, indrawi bergerak terus mengembangkan Ide – ide yang baik yang bersumber dari Imperis (Pengalaman luar) maupun pengalaman bathin, daya cipta, nurani, landasan hukum kepercayaan keimanan dan karsanya yang terpadu secara utuh bergerak secara dinamis kearah satu titik yaitu Keberhasilan/ kesuksesan berdasar Penguasaan pengalaman.
Dari sinilah kita mendapat suatu pandangan bahwa, Keindahan di dalam Prilaku manusia terdapat pada Keberhasilan berkarya yang membawa manfaat terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat banyak berdasar penguasaan pengalaman sehingga menjadi budaya bersama. Pengusaan Hukum mutlak (sumber dari Agama), bathin, nurani dan daya cipta intensitasnya berdasar Keimanan yang dianut oleh manusia itu sendiri, artinya setiap Karya, Karsa tidak berlandasan Ilahiah maka Keindahan pasti tidak akan terwujud karena tidak memberikan manfaat pada masyarakat lainnya maupun terhadap dirinya sendiri.
Intensitas dalam perilaku manusia khususnya yang berkeyakinan agama Islam mereka wajib berdasar Innalillahi Wainnailaillahi Rajiun, setiap apapun di alam ini datangnya dari Tuhan Azali (Allah SWT) dan setiap apapun kembali kepada Tuhan Azali (Allah SWT) Artinya meimplementasikan karyanya tujuannya adalah ilahiyah (Syiar, dakwah, kemaslatan yang mengandung ibadah ). Memang ada beberapa pakar seni budaya Islami di Indonesia berpendapat bahwa masyarakat islam Indonesia sekarang ini dalam ragu dan bimbang, saling bertanya dan menerka , Apakah seni dan budaya ini dan itu sudah dalam Pembenaran menurut hukum/ aqidah Agama atau Norma–norma Budaya Bangsa, jadi keindahan harus berdasar Landasan Ilahiah, namun Landasan Ilahiah mengandung beberapa komponen:
1.Komponen Keagamaan yang serba relegi yang mencerminkan Rasa takut dan rasa percaya diri terhadap hal-hal yang di larang atau hal-hal yang dihalalkan (dibenarkan oleh agama dan hukum negara).
2.Komponen Kepercayaan/ keyakinan yang merupakan hasil olah Pikir/ Indrawi serta gagasan manusia yang berkenan dengan keyakinan yang tidak berbenturan dengan aspek historis, aspek lingkungan(Alam-masyarakatnya)dan konsep-konsep Moral yang beradab serta aspek aplikatif hilostis.dan yang terpenting menggali keindahan dalam berkarya problematik/proses dari input ke Output untuk mencapai aplikasi seni tersebut benar - benar di saring secara logical.
Sekarang dimana saja masyarakat mulai sadar bahwa setiap seni yang dilandasi Ilahiah dapat memperbaiki norma kehidupan masyarakat itu sendiri.
Jelas dan tegas bahwa setiap seni dan budaya yang berlandaskan ajaran agama dan tidak berbenturan dengan logical serta norma-norma bangsa, dapat merubah “karakter down” manusia menjadi “karakter full”.
Dan yang sangat jelas dan sangat tegas dalam menilai untuk mencari pembenaran dalam kebenaran Keindahan pertama ujudkan kesadaran diri, kedua jangan terikat oleh referensi –referensi, jangan terbelenggu oleh realita yang dilihat dan yang diteliti, kalau tidak kita filter dengan apa aplikatif realita benda itu, dimana kandungan historisnya benda itu, bagaimana problematif ujud terjadinya benda itu, karena tanyakan Nuranimu saring dengan akalmu (Logical) Nuranimu adalah halifah dalam hidupmu, akal adalah timbangan/mizan ilmu hidupmu.

     
     

       2.  Apa itu Qalbu
Pengertian kalbu itu terbagi kedalam dua macam,yaitu :
a.Qalbu jismani, yaitu jantung
Ada hadits tentang qalbu yang sangat populer di masyarakat, sering diucapkan oleh para ustadz dan muballigh dalam ceramah-ceramah mereka. Tapi sayangnya orang kurang cermat dalam memahami makna qalbu pada hadist ini.
Abu Nu`aym menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w. berkata: “Sesungguhnya di dalam jasad ada sebongkah daging; jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya, jika ia rusak maka
Rusaklah jasad seluruhnya ; bongkahan daging itu adalah Qalbu.”
Hadits di atas jelas menyebut qalbu sebagai bongkahan daging (benda fisik) yang terkait langsung dengan keadaan jasad atau tubuh manusia. Bongkahan daging mana yang kalau ia
Ia sakit atau rusak maka seluruh jasad akan rusak.?
 Bahasa Arab mengenal qalbu dalam bentuk fisik yang di dalam kamus didefinisikan sebagai ‘organ yang sarat dengan otot yang fungsinya menghisap dan memompa darah, terletak di tengah dada agak miring ke kiri’. Jadi, qalbu adalah jantung. Dokter qalbu adalah dokter jantung. Jantung adalah bongkahan daging yang kalau ia baik maka seluruh jasad akan baik atau sebaliknya kalau ia rusak maka seluruh jasad akan rusak.
b.Qalbu ruhani, yaitu hatinurani.
Ada juga jenis qalbu yang kedua, sebagaimana digambarkan dalam hadits berikut:
“Sesungguhnya orang beriman itu, kalau berdosa, akan akan terbentuk bercak hitam di qalbunya”. (HR Ibnu Majah)
Jadi kalau banyak dosa qalbu akan dipenuhi oleh bercak-bercak hitam, bahkan keseluruhan qalbu bisa jadi menghitam. Apakah para penjahat jantungnya hitam? Apakah para koruptor jantungnya hitam? Tanyakanlah kepada para dokter bedah jantung, apakah jantung orang-orang jahat berwarna hitam? Mereka akan katakan tak ada jantung yang menghitam karena kejahatan dan kemaksiatan yang dibuat. Lalu apa maksud hadits Nabi di atas?
Qalbu yang dimaksud dalam hadits itu adalah qalbu ruhani. Ruh (jiwa) memiliki inti, itulah qalbu. Karena ruh (jiwa) adalah wujud yang tidak dapat dilihat secara visual (intangible) maka qalbu yang menjadi inti (sentral) ruh ini pun qalbu yang tidak kasat mata. Dalam bahasa Indonesia ‘qalbu ruhani’ disebut dengan ‘hatinurani’.
Mungkin karena dianggap terlalu panjang dan menyulitkan dalam pembicaraan, maka orang sering menyingkatnya menjadi ‘hati’ saja. Padahal ada perbedaan besar antara ‘hati’ dengan ‘hatinurani’ sebagaimana berbedanya ‘mata’ dengan ‘mata kaki’.
Rupanya, istilah qalbu mirip dengan heart dalam bahasa Inggris, sama-sama memilki makna ganda. Heart dapat bermakna jantung (heart attack, serangan jantung) dapat juga bermakna hatinurani (you’re always in my heart, kamu selalu hadir di hatinuraniku). Maka apabila mendengar perbincangan tentang qalbu perhatikanlah konteksnya. Kalau yang berbicara adalah dokter medis, tentu qalbu yang diucapkannya lebih bermakna jantung. Tapi bila dikaitkan dengan perbincangan tentang moral, iman atau spiritualitas, maka maknanya lebih mengarah pada hatinurani yang wujudnya ruhaniah.
Qalbu orang yang berdosa akan menghitam. Ungkapan ‘menghitam’ di sini adalah ungkapan perumpamaan (majâzi, metaphoric) bukan ungkapan sesungguhnya (haqîqi). Namun bukan berarti karena dosa tak kan nampak bekas-bekas fisiknya lalu kita akan seenaknya saja berbuat dosa. Na`ûdzubillâh min dzâlik...

      3.  Apa itu akal
Kata al-‘aql di dalam bahasa Arab, selain berarti pikiran dan intelek, juga digunakan untuk menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Salah satu arti dari akar kata ‘aql adalah ikatan.
Di dalam al-Quran, Tuhan menyebut mereka yang ingkar sebagai orang yang tidak bisa berpikir ‘laa ya’qiluun’ mereka yang tidak bisa menggunakan akalnya dengan baik. Sangat ditekankan di dalam al-Quran bahwa runtuhnya iman tidak disamakan dengan timbulnya kehendak yang buruk, melainkan dengan tidak adanya penggunaan akal secara baik.mungkin bagi sebuah kata untuk memiliki berbagai arti dalam berbagai konteks. Sebagai contoh, sebuah kata mungkin memiliki arti khusus dalam penggunaan para ahli logika dan para filosof, dan arti lain dalam penggunaan para ahli tata bahasa.
Kata kalimah memiliki satu arti dalam penggunaan secara umum dan dalam penggunaan para ahli tata bahasa, dan arti lain dalam pemakaian para ahli logika, para ahli hukum dan undang-undang. Jika sebuah kata memiliki dua arti atau lebih dalam satu kumpulan penggunaan, seseorang harus mengatakan bahwa kata itu memiliki arti dalam ungkapan ini, dan arti itu dalam ungkapan itu. Jawaban yang tersedia untuk pertanyaan-pertanyaan semacam itu disebut pengertian-pengertian verbal.
Kadang-kadang jika seseorang menyelidiki pengertian sesuatu, maka apa yang dicari bukanlah arti katanya melainkan hakikat (realitas) dari. rujukannya. Kita tidak bertanya, “Apa arti kata ini?” Kita mengetahui arti kata tersebut, tapi bukan realitas dan kesejatian rujukannya. Sebagai contoh, jika kita bertanya, “Apa manusia itu?” maka kita tidak berusaha mengetahui apa arti kata “manusia” itu. Kita semua mengetahui bahwa kata “manusia” digunakan bagi makhluk berkaki dua, berpostur tegak-lurus dan dapat berbicara. Sebaliknya dari mempertanyakan arti kata itu, kita berusaha mengetahui identitas dan realitas makhluk manusia ini. Jelaslah, dalam masalah ini, hanya terdapat satu jawaban yang benar, yang disebut definisi (ta’rif) yang nyata.
Pengertian verbal lebih dahulu dari pengertian (definisi) yang nyata. Yaitu, pertama-tama, seseorang harus memastikan arti konseptual kata tersebut, dan kemudian menggambarkan pengertian nyata dari rujukannya. Jika tidak, maka kekeliruan dan perselisihan-perselisihan tiada ujung akan timbul karena suatu kata mempunyai banyak arti menurut bahasa maupun ungkapan, dan keserbaragaman arti ini dapat diabaikan secara begitu saja.
Setiap kelompok dapat mendefinisikan suatu kata dengan arti khusus dan berikut pemakaian idiomatiknya, dengan tidak memperhatikan fakta bahwa arti itu menggambarkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang digambarkan oleh kelompok lain. Akibatnya mereka berselisih secara sia-sia.
Kekeliruan untuk mengenali kata tersebut dari realitas rujukannya kadang-kadang berakibat munculnya transformasi dan evolusi yang menggantikan arti suatu kata yang dianggap berasal dari realitas yang ditunjukkannya.
Sebagai contoh, suatu kata tertentu pertama kali mungkin dipakai untuk suatu keseluruhan dan kemudian, lewat perubahan penggunaan, dipakai hanya untuk satu bagian dari keseluruhan tadi.
Jika seseorang gagal mengenali arti kata tersebut dari realitas rujukannya, dia akan mengira bahwa keseluruhan itu benar-benar telah dipecah-pecah, padahal kenyataannya tidak ada perubahan yang terjadi dalam keseluruhan itu. Yang sebenarnya terjadi adalah kata yang dipakai untuknya telah berganti maknanya untuk digunakan pada suatu bagian dari keseluruhan itu.”
1], Kesalahan semacam inilah yang juga terjadi pada banyak kalangan terutama kalangan Sufi di dalam pemaknaan Akal. Muthahhari di dalam bukunya “Insan Kamil” juga mengkritik Aliran Irfan yang cenderung merendahkan akal.
2),Bahkan artikel Dimitry Mahayana yang berjudul “Kesadaran Uniter Ilahiah: Melepaskan Diri dari Keraguan Cartesian
3) . mendapat tanggapan yang cukup “keras” dari Ustad Musa Kazhim (al-Habsyi) berkenaan dengan pemaknaan dan pemahaman Akal yang menurut Ust. Musa Kazhim keliru.
Ust. Musa Kazhim menulis artikel khusus yang berjudul “Kontroversi Seputar Akal, Hati dan Eksistensi “demi meluruskan pemahaman akal yang sebenarnya.
Sayyid Husayn Nashr, di dalam bukunya, Islam Dalam Cita dan Fakta, mengatakan bahwa “Arti akal bukanlah apa yang menjadi anggapan umum pada zaman modern ini, yaitu kecepatan berpikir dan kecerdasan gemilang yang bermain dengan ide-ide tanpa mampu mencapai dasar ide itu. Akal yang seperti ini serupa dengan danau es yang membeku di mana segalanya meluncur pada permukaannya, dari satu sisi ke sisi yang lain, tanpa mampu mencapai dasar danau. Bukan aktivitas mental serupa ini yang disebut akal di dalam Islam.


      1. Apa itu Islam
Islam adalah risalah Allah SWT. yang terakhir bagi manusia, oleh karena itu Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah SWT. kepada Nabi-Nya yang terakhir yaitu Sayidina Muhammad Saw.. Dan juga sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. adalah membawa risalah Allah SWT. yang universal dan sebagai pembuka untuk semua alam. Setiap Nabi datang dengan risalah dari Allah SWT. untuk kaumnya masing-masing, sedangkan Nabi Muhammad Saw. dengan Islam sebagai risalah Allah SWT. yang terakhir untuk semua manusia bahkan jin. Allah SWT. berfirman: "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."( QS. Al-Anbiya': 107), Allah SWT. berfirman: "Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (QS. Saba': 28), dan Allah SWT. berfirman: "Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua" (QS. Al-A'raf: 158) Dan juga Nabi Muhammad Saw. telah mengkabarkan kepada kita bahwa sesungguhnya Allah SWT. telah mengkhususkan Nabi Muhammad Saw. dengan amanat seperti ini, maka Nabi Muhammad Saw bersabda: "Nabi yang dahulu diutus untuk kaum yang khusus, sedangkan aku diutus untuk manusia seluruhnya" (HR. Bukhari Muslim)
Islam adalah agama yang mudah, tidak sukar dan tidak sempit, Allah SWT. berfirman: "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS. Al-Hajj: 78) Allah SWT. juga berfirman: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185) dan asas Allah SWT. kepada agama ini secara dzahir ada lima rukun yaitu: Dua Syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji ke baitullah. dan di dalam akidah kita yaitu rukun iman, ada enam rukun yaitu: Iman kepada Allah SWT., Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari kiamat, dan ketetapan yang baik dan buruk. Kemudian keimanan dibagi kedalam rincian-rincian yang banyak, yaitu beberapa perintah dan larangan di dalam Syariat Islamiyah yang telah menghubungkan dalam jumlahnya kepada sebuah kejelasan, dan tujuh puluh cabang seperti yang dikabarkan oleh orang yang percaya dan dipercaya.
Sebuah Hadits Jibril as. yang menjelaskan rukun Islam dan Iman, diriwayatkan oleh tuan kita 'Umar ra. Berkata: Suatu ketika kami sedang berada di sebuah majlis bersama Rasulullah Saw. ketika itu muncul seoarang laki-laki yang sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya, tidak terlihat kepadanya bekas perjalanan yang jauh, dan satupun dari kita tidak mengenalnya, kemudian dia duduk dihadapan Nabi Saw, lalu orang itu menyenderkan lututnya kepada lutut Nabi Saw., dan meletakan telapak tangannya di atas paha Nabi Saw., dan berkata: "Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam".
Maka Rasulullah Saw. bersabda: "Islam adalah kamu bersaksi bahwa tiada ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, memberikan zakat, puasa di bualan Ramadhan, dan haji ke baitullah jika kamu mampu menjalankannya.". Orang itu berkata: "Kamu benar". 'Umar berkata: "Maka kami terkejut kepadanya, dia bertanya dan membenarkannya. Kemudian orang laki-laki itu bertanya lagi: "Lalu kabarkan lah kepadaku tentang iman". Nabi menjawab: "Kamu percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir baik dan buruk". Dia berkata: "Kamu benar". Kemudian bertanya lagi: "Lalu kabarkanlah kepadaku tentang Ihsan". Nabi menjawab: "Kamu menyembah Allah seperti kamu melihat-Nya tetapi jika belum dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Beliau melihatmu". Lalu dia bertanya lagi: kabarkanlah kepadaku tentang hari kiamat. Nabi menjawab: "Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada orang yang bertanya". Lalu dia bertanya lagi: Kabarkanlah kepadku tentang janji hari kiamat. Nabi menjawab: "Ketika pembantu melahirkan anak, kamu melihat para pemimpin tanpa alas kaki sehingga ketergantungan dengan orang lain dan bangunan-bangunan semakin tinggi". Berkata 'Umar: "Kemudian orang laki-laki itu keluar maka aku timbul pertanyaan dalam hatiku, kemudian Nabi bersabda kepadaku: "Wahai 'Umar apakah kamu mengetahui siapa orang yang bertanya itu". Aku berkata: "Allah dan Rasul lebih mengetahui". Rasul berkata: "Sesungguhnya dia adalah Jibril, dia datang untuk memberi pengetahuan tentang agama kalian" (HR. Muslim: juz 1 hal. 37) Dan Nabi Saw. mengkabarkan tantang cabang iman, lalu Nabi berkata: "Sebuah kejelasan bahwa tujuh puluh cabang iman dan sifat malu adalah sebagian cabang iman" (HR. Bukhari: juz 1 hal. 63)
Adapun dengan penamaan Islam dengan kata Islam: sesungguhnya Islam adaah agama yang selamat dan diselamatkan oleh Allah Tuhan semesta alam, maka Islam adalah agama yang mengajak Muslim untuk berpasrah kepada Allah yang satu dan melepaskan dari segala sesuatu yang selainnya dari Tuhan-Tuhan, patung-patung sampai segala sesuatu yang menjadikan manusia musyrik bersama Tuhannya, karena sesungguhnya dia mengikuti hawa nafsunya, Allah berfirman: "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?" (QS. Al-Furqan: 43), sama juga mengajak Muslim kepada keselamatan hanya untuk diri sendiri, padahal bersama adanya keluasan Allah, dalam masalah ini Nabi Saw. bersabda: "Seorang Muslim sebagian dari keselamatan Muslim-Muslim yang lainnya dari lisannya dan tangannya" (HR. Bukhari Muslim: juz 1 hal. 13)
Islam adalah agama yang diridhai oleh Allah, Allah lah yang menamakan Islam dengan kata ini dan meridhainya karena sesungguhnya Beliau adalah Tuhan semesta alam, Allah SWT. berfirman: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Ma'idah: 3). Allah SWT. juga berfirman: "(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia." (QS. Al-Hajj: 78), Allah menamakan Muslim kepada orang Islam, karena kekhususan-kekhususan dari umat yang terakhir ini. Umat yang memiliki agama yang terakhir, Nabi Saw. yang terakhir. Sesungguhnya orang yahudi menamakan dirinya sendiri yang sebagai binaan dakwahnya Nabi Musa as., Allah SWT. bercerita dalam firman-Nya: "Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu."" (QS. Al-'Araf: 156). Begitu juga orang-orang Nasrani menamakan dirinya sendiri, Allah SWT. berfirman: "Dan diantara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya." (QS. Al-'Araf: 156). Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam karena telah mengkhususkan dan melebihkan kita atas semua ciptaannya yang sempurna.
Dan kita mengharapkan dengan jawaban ini kita dapat mengetahui tentang kedudukan Islam antara risalah-risalah yang terdahulu, juga kita mengerti tentang agama kita secara keseluruhan, bagaimana dinamakan dengan kata Islam dan penemaan pengikut Islam yaitu Muslim. Shalawat serta salamnya Allah atas Nabi kita, keluarganya, dan para sahabatnya, dan Allah SWT. yang paling tinggi dan paling mengetahui.

       2. Apa itu Ihsan
Ihsan’ adalah salah satu dari tiga komponen yang membentuk ad-diin kita, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Jika satu komponen saja tidak ada, atau tidak paham, maka kita belum ber-diin dengan sempurna. Jika kita sudah paham makna ‘ihsan’, kita juga akan bisa meraba maksud makna kata-kata turunannya seperti ‘hasan’, ‘ahsan’, ‘muhsin’, ‘hasanah’, dan lain sebagainya.

Umumnya kita secara awam mengartikan kata ‘ihsan’, ‘hasan’, ‘ahsan’ dan semua kata yang berkaitan, dihubungkan dengan kata ‘baik’ sebagaimana tertulis di kamus bahasa Arab. Jika ‘ihsan’ di sana diartikan ‘baik’, maka ‘muhsin’ adalah ‘orang yang baik’, atau ‘orang yang suka berbuat baik’, dan seterusnya. Oke, itu tidak salah sih. Tapi apa bedanya ‘ihsan’ atau ‘hasan’, dengan ‘khair’ (baik)? Masalahnya, istilah Arab dalam Qur’an itu sama sekali bukan bahasa Arab sehari-hari, sehingga beresiko tidak akurat, kabur atau terlalu umum jika diterjemahkan melalui kamus bahasa Arab sehari-hari.
Contoh, Q. S. Al-Baqarah [2] : 195:

“Innallaha yuhibbul-muhsiniin.”
Sesungguhnya Allah mencintai Al-Muhsiniin.
Jika ‘Al-muhsiniin’ diterjemahkan menjadi ‘orang-orang yang berbuat baik’ sesuai kamus bahasa Arab sehari-hari, maka artinya menjadi ’sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.

       3.  Apa itu iman
Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek) (Lihat Syarh Arba’in, hal. 34)
Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam pendapat [dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional] :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan.
Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah- berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada Fir’aun, ”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17] : 102). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS. An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.” (QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!….
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” (Lihat Fathul Baari, I/60)

      C.  ALIRAN FIQH, KALAM, DAN TASAWUF
      1.  Aliran Fiqh
Fiqh atau hukum islam merupakan salah satu bidang studi islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqh terkait lansung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqh. Tentang siapa misalnya yang harus bertanggung jawab member nafkah terhadap dirinya, siapa yang menjadi ibu bapaknya, sampai ketika ia dimakamkan terkait dengan fiqh karena sifat dan fungsinya yang demikian itu, maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu al-hal yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan termasuk ilmu yang wajib dipelajari, karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah SWT melalui ibadah salat, puasa, haji, dan sebagainya.
Pengertian hukum islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariah. Untuk itu dalam pangetian hokum islam disini dimaksudkan didalamnya pengertian syariah. Dalam kaitan ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hokum islam atau fiqh adalah sekelompok dengan syariat yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash Al-quran atau As-sunnah. Bila ada nasb dari al-qur’an atau as-sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari al-qur’an atau as-sunnah, dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan Ilmu Fiqh. Dengan demikian yang disebut Ilmu Fiqh adalah sekelompok hokum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dali yang terperinci.
Yang dimaksud dengan amal perbuatan manusia ialah segala amal perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadat, muammalat, kepidanaan, dan sebagainya. Bukan yang berhubungan dengan akidah (kepercayaan). Sebab yang terakhir ini termasuk Dalam pembahasan Ilmi Kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci ialah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hUkum tertentu.
Berdasarkan batasan tersebut diatas sebenarnya dapat dibedakan antara syariah dan hokum islam atau fiqh. Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yangdigunakannya. Jika syariat didasarkan pada nash al-qur’an atau as-sunnah secara lansung, tanpa memerlukan penalaran, sedangkan hokum islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at. Dengan demikian, jika syari’at bersifat permanen, kekal dan abadi, fiqh atau hokum islam bersifat temporer, dan dapatberubah. Namun, dalam praktiknya antara syariat dan fiqh sulit dibedakan. Ketika kita mengkaji suatu masalah misalnya kita pergunakan nash al-qur’an dan as-sunnah, tetapi bersaman dengan itu kita juga menggunakan penalaran. Hal ini amat dimungkinkan karena nash-nash al-qur’an maupun as-sunnah tersebut sunguhpun secara tekstual tidak dapat diubah, namun interpretasi dan penerapan nash al-qur’an dan as-sunnah tersebut tetap memerlukan pilihan yang menggunakan akal. Dalam kaitan ini tidak menherankan jika Ahmad Zaki Yamani memberikan cirri syariat islam identik dengan cirri hokum islam. Cirri tersebut menurut Zaki Yamani ada dua. Pertama, bahwa syariat islam itu luwes, dapat berkembang untuk menggulangi semua persoalan yang berkembang dan berubah terus, ia sama sekali berbeda dengan apa yang telah digambarkan baik oleh musuh-musuh islam, maupun oleh sementara penganutnya yang menyeleweng atau yang kolot dan sempit, yakni bahwa syariat islam itu suatu system, agama yang sudah lapuk dan nanar oleh sebab kelanjutan usianya. Kedua, bahwa dalam pusaka perbendaharaan hokum islam terdapat dasar-dasar yang mantap untuk pemecahan-pemecahan yang dapat dilaksanakan secara tepat dan cermat bagi persoalan-persoalan yang paling pelik dimasa kini, yang tidak mampu dipecahkan oleh prinsip-prinsip Timur, meskipun sekedar untuk melunakkan saja.


       2.  Ilmu Kalam
Ilmu kalam atau teologi termasuk salah satu bidang studi islam yang amat dikenal oleh kalangan akademis maupun masyarakat umumnya. Menurut Ibnu Kaldum sebagaimana dikutip A. Hanafi, ilmu kalam ialah ilmu berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercyaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah.
Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti yang menyakinkan. Didalam ilmu ini dibahas tentang cara membahas secara mendalam tentang sifat-sifat Allah dan para Rasulnya dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti guna mencapai kebahagian hidup abadi. Ilmu ini termasuk induk ilmu agama yang paling utama bahkan paling mulia, karena berkaitan dengan zat Allah, dan zat para Rasulnya.
Namun dalam perkembangan selanjutnya ilmu teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibatnya, seperti maslah iman, kufur, musyrik, murtad, maslah kehidupan akhirat dengan berg=bagai kenikmatan atau penderitaanya, hal-hal yang membawa pada semakin tebal dan tipisnya iman, hal-hal yang berkaitan dengan Kalamullah yaitu Al-qur’an status orang-orang yang beriman dan sebagainya.
     


       a. Model-Model Penelitian Ilmu Kalam
Secara garis besar, penelitian ilmu kalam dapat dibagi menjadi 2 bagian, Pertama, Penelitian yang bersifat Dasar atau pemula, dan Kedua, Penelitian yang bersifat Lanjutan atau Pengembangan dari penelitian Model pertama. Penelitian model petama ini sifatnya baru pada tahap membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merunjuk pada Al-qur’an dan hadist serta berbagai pendapat tentang kalam yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi. Sedangkan penelitian model kedua sifatnya hanya mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama.
                                    I. Penelitian Pemula
Melalui penelitian model pertama dapat dijumpai sejumlah referensi yang telah disusun oleh para ulama selaku peniliti pertama yang sifatnya dan keberadaannya telah disebutkan diatas. Dalam kaitan ini kita jumpai beberapa karya hasil penelitian pemula sebagai berikut:
       a) Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy
       b)Model Al-Imam Abi Al-Hasan bin Isma’il Al-Asy’ari.
       c) Model ‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad
       d) Model Thahawiyah

                                   II. Penelitian Lanjutan
Selain penelitian yang bersifat pemula sebagaimana yang tersebut diatas dalam bidang ilmu kalam ini juga dijumpai penelitian yang bersifat lanjutan. Yaitu penelitian atas sejumlah karya yang dilakukan oleh para peneliti pemula berbagai hasil penelitian lanjutan ini dapat dikemukakan sebaga berikut:
       a) Model Abu Zahrah
       b) Model Ali Mustafa Al-Ghurabi
       c) Model Al-Lathif Muhammad Al-‘Asy.

      




       3.Ilmu Tasawuf
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dpat menimbulkan akhlak mulia, dari segi kebahasaan terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan 5 istilah yang berhubungan dengan tasawuf yaitu Al-Suffah yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari mekkah ke madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan salat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, soffos (bahasa yunani: hikmah). Jika dilihat dari sudut pandang manusiasebagai makhluk yang terbatas, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian kepada Allah.selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalh bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya memprindah uapay diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama islam untuk emndekatkan diri kepada Allah.
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu jalan yang diletakkan oleh Allah didalam lubuk islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupam rohani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan al-qur’an dengan menempatkan pengertian yang profosional sebgaimana yang telah disebutkan diatas, tanpa tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan, kemunduran, atau semacamnya, melainkan justru memperlihatkan ketangguhan jiwa dalam menghadapi berbagai problema hidup yang senantiasa datang silih berganti.
Dengan demikian dari segi kebahasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang berlalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sedehana, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh memiliki daya tangkal yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.





Tasawuf dari segi istilah terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas; kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang; dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika ketiga definisi tasawuf tersebut satu dan lainnya dihubungkan, segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak mulia. Tasawuf secara hakiki memasuki fungsinya dalam mengingatkan kembali manusia siapa ia sebenarnya.
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan Al-Qur’an.
Dengan menempatkan pengertian yang proporsional sebagaimana telah disebutkan di atas, tampak tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan, kemunduran, atau semacamnya, melainkan justru memperlihatkan ketangguhan jiwa dalam menghadapi berbagai problema hidup yang senantiasa datang silih berganti.



2. Tokoh-tokoh Tasawuf dalam Sejarah
Tokoh-tokoh tasawuf yang terkenal dalam sejarah antara lain Hasan al-Bashri, Ibrahim bin Adham, Rabiah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, Zunnun al-Mishri, Ibn Arabi, dan al-Ghazali.
Kemunculan para sufi sebagiannya telah membuka perdebatan yang sengit dengan kaum syari’at. Mereka dituduh mengabaikan syari’at dengan ungkapan-ungkapan yang menjurus syirik. Hal tersebut akibat perbedaan yang jauh antara pengalaman spiritual yang diperoleh kaum sufi dengan patokan-patokan baku hukum fiqih yang tanpa kompromi. Tak dapat diabaikan faktor polotok yang turut memperkuat penghakiman sebagai menyimpang terhadap kaum sufi seperti yang menimpa al-Hajjaj.
Hasan al-Bashri lahir di Madinah pada 21 H/642 M dan wafat di Bashra pada 110 H/729 M. ia tumbuh dalam lingkungan yang shaleh dan memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam. Ia banyak belajar dari Ali bin Abi Thalib dan Huzaifah bin al-Yaman, dua sahabat Nabi yang banyak menimba pengetahuan kerohanian.
Rabi’ah al-Adawiyah yang wafat pada tahun 801 M memiliki ajaran al-Mahabbah. Bagi Rabi’ah, zuhud dilandasi oleh mahabbah (rasa cinta) yang mendalam. Kepatuhan kepada Allah Swt. pada pemikiran tasawufnya bukanlah tujuan karena ia tidak mengharapkan nikmat surga dan tidak takut azab neraka tetapi ia mematuhi-Nya karena cinta kepada-Nya.
Rabi’ah dilahirkan di Bashra. Kemudian ia hidup sebagai hamba sahaya. Dalam kehidupan demikian, ia menghabiskan waktunya sepanjang malam untuk shalat dan dzikir.
Dapat dipastikan bahwa Rabi’ah adalah peletak dasar doktrin al-mahabbah dalam tasawuf. Menurutnya, cinta kepada Ilahi mempunyai dua bentuk yaitu cinta rindu dan cinta karena Dia yang layak dicintai. Menurut al-Ghazali, mungkin yang dimaksud cinta rindu ialah cinta kepada Allah Swt. karena kabaikan dan karunia-Nya kepadanya.
Adapun cinta kepada-Nya karena Dia layak dicintai ialah cinta karena keindahan dan keagungan-Nya, yang tersingkap kepadanya. Dan yang terakhir inilah cinta yang paling lujur dan mendalam serta merupakan kelezatan yang tiada taranya.
Ajaran tasawuf Zunnun al-Mishri (w. 860 M) adalah al-Ma’rifah. Bahkan Zunnun disebut sebagai bapak al-Ma’rifah. Menurutnya, al-Ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Pengetahuan hakiki adalah yang dimiliki kaum sufi dan pengetahuan ini disebut Ma’rifah. Ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Ma’rifah dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya penuh dengan cahaya.
Tokoh lain yang mengembangkan tingkat ma’rifat adalah al-Junaid al-Baghdadi (w. 867 M). Menurut al-Junaid, manusia memiliki wujud yang lebih riil sebelum mendapat wujudnya di dunia ini, yaitu wujud rohani yang disebutnya wujud rabbani, yang diciptakan Tuhan di dalam azal dan bagi azal. Dengan wujud rabbani itulah manusia dapat mengenal Tuhan secara langsung yang disebut ma’rifat. Apabila ma’rifat itu telah tercapai maka itulah saatnya diri yang mengenal kehilangan wujudnya dalam Wujud Yang Dikenal. Karena itu dalam pandangan orang arif yang sudah sampai ke taraf demikian, yang ada hanya satu, Allah Swt.
Ajaran tasawuf Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M) adalah al-Fana wal-Baqa. Yang dimaksud al-Fana adalah penghancuran diri (al-fana anin-nafs). Artinya adalah hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut para sufi, fana berarti sirnanya sifat yang tercela yang dibarengi dengan baqa, yaitu munculnya sifat yang terpuji. Kalau sufi sudah mencapai tingkat ini maka yang akan tinggal adalah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan.
Ajaran tasawuf al-Hallaj (w. 922 M) adalah al-Hulul. Yaitu faham bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Menurut al-Hajjaj, Allah mempunyai dua sifat dasar yaitu ketuhanan lahut dan kemanusiaan nasut. Dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi dan persatuan ini mengambil bentuk hulul (mengambil tempat). Pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi. Setiap tindakan manusia berasal dari Tuhan.
Al-Ghazali tampil dalam khazanah tasawuf sebagai tokoh penengah. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (450 H/1058M-505/1111M). Tokoh ini demikian berpengaruh di dunia Islam. Ia lahir di Thus. Pada waktu muda ia belajar teologi pada al-Juwaini di Nisyafur. Ia kemudian menjadi begitu masyhur sebagai ahli teologi dan sains agama, sehingga pada usia muda ia diundang ke Baghdad untuk menjabat guru besar pada universitas Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang wazir Bani Saljuk adalah pengusaha di Baghdad yang menggantikan Bani Buwayh.
Perjalanan intelektualnya berakhir setelah ia mendalami tasawuf dan tampaknya ia memiliki puncak kepuasannya di dunia tasawuf. Segala jabatan duniawi ia tinggalkan kemudian ia memutuskan kembali ke Thus. Karyanya yang paling monumental adalah Ihya Ulumuddin. Karya yang dapat disebut sebagai magnum opus al-Ghazali mengenai etika spiritual. Al-Ghazali menulis karya logika dan filsafat. Namun menurut Nasr kehebatannya di bidang ini bukan dalam mengulas melainkan memberikan kritik pada pemikiran filsafat.
Al-Ghazali dapat disebut sebagai tokoh pertama yang mencoba mengkompromikan ajaran tasawuf dengan syari’at. Ajaran-ajaran tasawuf yang mulanya seperti terpisah dari syari’at oleh al-Ghazali diformulasikan sedemikian rupa sehingga menjadi amalan yang sah di kalangan kaum muslimin sunni. Pada saat yang bersamaan ia berhasil mengurangi pengaruh filsafat Peripatetik di dunia Islam. Bahkan akibat umat Islam tidak lagi menyukai filsafat terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa al-Ghazali anti intelektual seperti komentar Philip K. Hitti dan Sultan Takdir Alisyahbana.
Ajaran tasawuf al-Ghazali tampak jauh berbeda dengan ajaran tasawuf yang lain. Dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghazali cenderung ortodokoks dan moderat, sedangkan ajaran tasawuf yang lain cenderung bebas, ekstrim dan dianggap berisiko terhadap kepercayaan seseorang. Hal ini terdapat pada ajaran-ajaran tasawuf yang dianut oleh Zunnun al-Mishri, Abu Yazid al-Bustami dan al-Hajjaj.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah merekam bahwa Islam sebagai agama Universal justru mendapat tantangan dari dirinya sendiri (Universalitas). Setiap pemeluk islam jika melihat ke dalam keluasan aspek dan pembahasannya maka meniscayakan beragamnya pendapat dan pandangan , tak ayalnya samudera tak bertepi, islam berusaha untuk selalu “diarungi” sejauh dan sedalam mungkin. Maka dari itu, kita melihat banyaknya kaum muslimin baik perorangan atau kelompok yang senantiasa berusaha sekuat mungkin untuk menemukan hakikat ajarannya yang Universal. Tak heran jika terjadi gesekan pandangan dan perbedaan pendapat yang mengemuka. Namun, bagi kami justru hal ini merupakan anugerah yang memperkaya khazanah keilmuan islam.
Perbedaan yang terjadi pada ranah teologi, politik, tasawuf, hukum hingga bangunan filsafat dan yang lainnya memberi warna dan corak tersendiri bagi dinamika peradaban Islam. Dari pemaparan kami di atas, dapat pembaca bayangkan betapa kayanya peradaban yang dibangun oleh Islam dan semua hal itu adalah buah hasil dari pergesekan, perbedaan dan dialektika yang terjadi di sepanjang sejarah islam.
Terlalu naif rasanya jika kami harus menyimpulkan ( menyempitkan ) keluasan khazanah yang dimiliki Islam. Namun, jika diizinkan kami ingin memberi catatan akhir bagi pemaparan pembahasan kami bahwasanya jika kita tarik ke kehidupan beragama kita saat ini, tentu kita seharusnya meneladani semangat yang diwariskan oleh para penyambung keagungan pesan yang terkandung dalam Islam.
B.     Saran
Semoga Allah memberikan keberkahan terhadap makalah yang telah kami susun ini. Tentunya kami juga berharap partisipasi dari para pemabaca untuk memberikan keritikan dan saran demi perbaikan karya kami selanjutnya.
Mohon maaf, jika makalah yang singkat ini didapati berbagai kesalahan baik dari segi penulisan, referensi dan lainnya, kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca khususnya dari pihak pengajar (Dosen).

DAFTAR PUSTAKA

Buchori, Didin Saefuddin. 2005. Metodologi Studi Islam. Bogor : Granada Sarana Pustaka
M. Ali Hasan. 2000.  Studi Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada
Nata, Abuddin. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
Ramadan, Tariq. 2003. Menjadi Modern Bersama Islam. Jakarta : Terajau





 Muchtar Yahya dan Fathurrahman, dasar-dasar pembinaan hokum islam, (bandung: Al-Ma’arif, 1986), cet.ke-10 hlm. 15

 Ibid, hal 15

 A. Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan bintang, 1979), cet. III, hlm, 10

Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, Abdul Hadi W.M. dari judul asli Living Sufism(Jakarta: pustaka Firdaus, 1985), cet. I, hlm.40