Makalah Tentang Karakteristik dan Tipologi Pesantren

 gambar pendidikan pondok pesantren


BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang

Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, prosentasenya mencapai 88%. Bahkan merupakan jumlah muslim terbesar di dunia. Berkaitan dengan itu pendidikan yang ada di Indonesia tidak hanya di sekolah umum, ataupun di madrasah, melainkan ada juga pondok pensantren. Tetapi masih banyak masyarakat yang belum memehami betul tentang pondok pesantren.
Maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pondok pesantren, mulai dari pengertian, tujuan, bagaimana karakteristik pondok pesantren, tipologi atau model-model pondok pesantren dan juga dibahas pula tentang sistem pendidikan yang ada dipondok pesantren. Sehingga  masyarakat mengenal betul tentang pondok pesantren, dan tidak lagi menganggap sebelah mata tentang pondok pesantren.

       B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian pondok pesantren?
2. Apa tujuan pendidikan pondok pesantren?
3. Apa karakteristik pondok pesantren?
4. Bagaimana tipologi pondok pesantren?
5. Bagaimana sistem pendidikan pondok pesantren?


       C.      Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah diatas, maka makah ini memiliki tujuan sebagai berikut:
          1. Memahami tentang pengertian pondok pesantren.
          2. Mengetahui tujuan pendidikan pndok pesantren.
          3. Mengetahu karakteristik pondok pesantren.
          4. Memahami tipologi pndok pesantren.
          5. Memahami sistem pendidikan pondok pesantren.





         
BAB II 
PEMBAHASAN



Kehadiran kerajaan Bani Umayah menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat islam tidak hanya belajar dimasjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yaitu “kuttab” (pondok pesantren). Kuttab, dengan karakteristik khasnya, merupakan wahana dan lembaga pendidikan islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah (sistem wetonan). Pada tahap berikutnya kuttab mengalami perkembangan yang sangat pesat karena dengan didukung oleh dana dari iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan peserta didik.
Di Indonesia istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok pesantren”, yaitu suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan terebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.

1.Historisitas Pesantren

Asal Mula Kata “Pesantren”

Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islamtertua di Indonesia yang dikembangkan secara indigenous olehmasyarakat Indonesia. Karena pada dasarnya, pesantren merupakan sebuah produk budaya masyarakat Indonesia yang menyadari akan arti penting pendidikan bagi warga pribumi yang tumbuh secaranatural. Terlepas dari mana tradisi dan sistem pesantren tersebut menggagas pondok pesantren sebagai pusat peradaban muslim yang
diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola pesantren yang unik (khas) dan telah sekian lama mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Amir Hamzah, sebagaimana dikutip Karel A. Steenbrink menyatakan, secara terminologi dapat dijelaskan bahwa budaya pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistem pendidikannya, berasal
dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, system tersebut telah terlebih dahulu digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diadopsi oleh para ulama penyebar Islam. Istilah-istilah yang ada di pesantren pun, seperti mengaji bukanlah berasal dari istilah Arab, melainkan dari India. Demikian juga istilah langgar di Jawa, surau di Minangkabau, dan rangkang di Aceh, bukanlah istilah Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India.
Ada beberapa pendapat mengenai asal mula kata “pesantren”. Prof. John berpendapat, bahwa kata pesantren berasal dari term “santri” yang diderivasi dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sementara C.C. Berg berpendapat lain, bahwa kata santri menurutnya berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti “orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci”. Berbeda dengan keduanya, Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang berarti “orang yang tinggal di sebuah rumah
gubuk atau bangunan keagamaan secara umum”. Pendapat lain mengatakan bahwa santri berasal dari bahasa Sanskerta “cantrik” yang berarti “orang yang selalu mengikuti guru”. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa santri pada awalnya merupakan gabungan
dari kata “saint” (manusia baik) dan “tra” (suka menolong), sehingga kata pesantren diartikan sebagai tempat pendidikan manusia baik baik.
Dalam hubungan ini, kata Jawa “pesantren” yang diturunkan dari kata “santri” dengan awalan dan akhiran “pe-an”, member makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa (santri) sebagai model pendidikan agama di Jawa.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai asal mula kata pesantren, yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang masih tetap konsisten sampai sekarang di dalam memelihara nilai-nilai, budaya atau tradisi, serta keyakinan agama yang kuat. Bahkan, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang diakui sejak awal sangat independen atau mandiri. Dalam hal ini, Malik Fadjar dalam Amin
Haedari pernah membanggakan kemandirian pesantren ini dengan mengatakan:
Ditinjau dari sisi kemandirian, pesantren jelas lebih unggul dibandingkan lembaga perguruan tinggi yang meski terkesan “wah” tetapi justeru merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya paling bertanggungjawab  terhadap membludaknya angka pengangguran di masyarakat
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.

Sejak zaman pra-Islam, di Jawa sudah berkembang desa-desa pendidikan dengan tokoh agama yang kharismatik dan dianggap “keramat” oleh masyarakat. Ketika para penduduk masuk Islam, desadesa pendidikan Islam juga terbentuk dengan pesantren-pesantren yangada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain, bahkan lebih dulu dari pada istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh misalnya, daerah pertama
di Indonesia yang menerima ajaran Islam, pesantren disebut dengan “dayah” atau “rangkang”, “meunasah”. Di Pasundan ada “pondok”, dan di Minangkabau ada “surau”. Di dalam pesantren, para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental spiritual, dan sedikit banyak pendidikan jasmani”.11
Secara historis, meski pesantren dalam arti lembaga pendidikan tempat dilakukannya pengajaran tekstual baru muncul pada sekitar abad ke-18, namun dari catatan sejarah disebutkan bahwa berdirinya pesantren sesungguhnya sudah ada sejak masa-masa awal
penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren untuk pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Walisongo yang juga mendirikan pesantren di wilayahnya masing-masing, seperti Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Lamongan, dan Raden Fatah di Demak. Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Jawa dan Madura, termasuk pulau-pulau di Indonesia bagian Timur, seperti Lombok, Sumbawa, Bima, Makasar, Ternate, Kangean
hingga Maluku. 12 Pada periode-periode selanjutnya seperti halnya di masa Walisongo, proses berdirinya pondok pesantren tidak pernah lepas dari kehadiran seorang ulama yang bercita-cita untuk menyebarkan Islam di daerahnya. Ulama tersebut biasanya sudah pernah bermukim
selama beberapa tahun untuk mengaji dan mendalami pengetahuan agama Islam, baik di pesantren-pesantren di Indonesia maupun di Mekkah dan Madinah. Setelah kembali ke tempat asalnya, ia lalu mendirikan sebuah “surau” untuk digunakan shalat berjama’ah dan aktivitas-aktivitas lainnya.
Kebanyakan pesantren didirikan secara pribadi oleh seorang kyai. Hal ini merupakan faktor yang memperkuat eksisitensi pesantren, meski faktor ini pula, yang jika tanpa diperkuat oleh faktor
pendukung lain akan menjadikan pesantren tertentu menjadi lemah
atau mati. Bahkan, lantaran kharisma dan pengaruh yang dimiliki, tidak sedikit kyai atau ulama yang dianggap oleh masyarakat sebagai cikal bakal berdirinya suatu daerah.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, setiap pesantren setidaktidaknya memiliki 5 (lima) elemen dasar, yaitu: masjid atau musholla, kyai atau pengasuh pesantren, santri, pondok atau asrama santri, dan pengajaran kitab-kitab (kitab kuning).
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat
informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal al-Qur’an hanya dari orang-orang kampungnya sendiri yang terlebih dahulu menguasai. Apabila ada seorang haji atau pedagang Arab yang kebetulan singgah di desa, orang-orang desa akan memintanya singgah selama beberapa hari untuk mengajarkan kitab dan ajaran Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut biasanya akan pergi “mondok” ke Jawa, atau bila memungkinkan
pergi ke Mekkah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam.13 Irfan Hielmy, salah seorang tokoh pesantren di Ciamis Jawa
Barat dalam bukunya Wacana Islam menjelaskan, bahwa berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama Islam di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel, salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, bahwa menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi Islam di Aceh dan Palembang (Sumatera), termasuk di Jawa Timur dan Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik minat banyak santri untuk belajar.Di Sulawesi Selatan, masjid selain digunakan sebagai tempat shalat berjama’ah juga difungsikan sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Tallo) juga berfungsi sebagai pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalah seputar syari’at Islam, rukun Islam, hukum perkawinan, warisan, dan upacara hari besar Islam.

 Sejak awal perkembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang-orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitabkitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar.15 Sedangkan sejarah pesantren di Jawa bagian Barat, Serat Centini menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama “Karang” di Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten.
Salah satu tokohnya adalah Danadharma yang mengaku telah belajar selama 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya ialah Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baja Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia
menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitabkitab ortodoks.
Demikian pesantren telah menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat efektif di Indonesia sejak awal berdirinya. Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kyai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah-tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, akan tetapi dianggap sebagai tokoh kharismatik bagi murid (santri) dan masyarakatnya. Kharisma kyai ini didasarkan pada kekuatan spiritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya dengan Tuhan. Ziarah ke kuburan para kyai dan waliyullah dipandang sebagai bagian integral dari wasilah atau keperantaraan spiritual. Mata rantai yang terus tersambung melalui guru-guru terdahulu dan waliyullah hingga Nabi, dianggap sangat penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.

      B.  Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu adalah menciptakan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia bermanfaat bagi masyarakat atau berhikmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau menjadi abdi masyarakat mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin di tuju ialah kepribadian mukhsin, bukan sekedar muslim.
 Sedangkan menurut M.Arifin bahwa tujuan didirikannnya pendidikan pesantren pada dasarnya terbagi pada dua yaitu:
      
a.  Tujuan Khusus
Yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang ‘alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
                b.  Tujuan Umum
Yakni membimbing anak didik agar menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar dan melalui ilmu dan amalnya.

       C. Karakteristik Pondok Pesantren
Karakteristik atau ciri-ciri umum pondok pesantren adalah
      a.  Adanya kiai
      b.  Adanya santri
      c.  Adanya masjid
      d.  Adanya pondok atau asrama
Sedangkan ciri-ciri  khusus pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi arab,hukum islam, tafsir Hadis, tafsir Al-Qur’an dan lain-lain.
Dalam penjelasan lain juga dijelaskan tentang ciri-ciri pesantren dan juga pendidikan yang ada didalamnya, maka ciri-cirinya adalah
      a.       Adanya hubungan akrab antar santri dengan kiainya.
      b.      Adanya kepatuhan santri kepada kiai.
      c.       Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren.
      d.      Kemandirian sangat terasa dipesantren.
      e.       Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren.
      f.  Disiplin sangat dianjurkan.
     g. Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunat, zikir, dan i’tikaf, shalat tahajud dan lain-lain.
     h. Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi.

Ciri-ciri diatas menggambarkan pendidikan pesantren dalam bentuknya yang masih murni (tradisional). Adapun penampilan pendidikan pesantren sekarang yang lebih beragam merupakan akibat dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus, sehingga lembaga tersebut melakukan berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian rupa. Tetapi pada masa sekarang ini, pondok pesantren kini mulai menampakan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang mumpuni, yaitu didalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal.
Dengan adanya tranformasi, baik kultur, sistem dan nilai yang ada di pondok pesantren, maka kini pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya
      1.   Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah).
      2.   Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
      3.   Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat, kesenian yang islami.
       4.    Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.

     


      D.  Tipologi Pondok Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk, hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub ada beberapa pembagian tipologi pondok pesantren yaitu :
       1. Pesantren Salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dengan metode sorogan dan weton.
       2. Pesantren Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi)   memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
       3. Pesantren Kilat yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibadah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
       4. Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.
Sedangkan menurut Mas’ud dkk ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
   1.Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daerah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain.
   2. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
4.Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Contohnya adalah Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur.
    5.Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya.
       E.    Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam lembaga pendidikan pada umumnya, yaitu:
1.  Memakai sistem tradisional, yang memiliki kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan 2 arah antara kiai dan santri.
2.  Kehidupan dipesantren menampakkan semangat demokrasi, karena mereka praktis bekerjasama mengatasi problem non kurikuler mereka sendiri.
3. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanyaijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka hanya ingin mencari keridhoan Allah SWT semata.
4.  Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
5.   Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemeritahan




BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islamtertua di Indonesia yang dikembangkan secara indigenous olehmasyarakat Indonesia. Karena pada dasarnya, pesantren merupakan sebuah produk budaya masyarakat Indonesia yang menyadari akan arti penting pendidikan bagi warga pribumi yang tumbuh secaranatural. Terlepas dari mana tradisi dan sistem pesantren tersebut menggagas pondok pesantren sebagai pusat peradaban muslim yang
diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola pesantren yang unik (khas) dan telah sekian lama
mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan terebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu adalah menciptakan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia bermanfaat bagi masyarakat atau berhikmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau menjadi abdi masyarakat mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin di tuju ialah kepribadian mukhsin, bukan sekedar muslim.

B.Saran

Sebelum
Penyusun akhiri, sekali lagi penulis mohon maaf apabila didalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan, dan dengan mengharap ridha dari Allah SWT, mudah-mudahan karya yang tidak seberapa ini menjadi amal dan berguna bagi kita semua. Amin.







DAFTAR PUSTAKA

1.    Maksum, Mukhtar, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
2.    Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LkiS, 2004).
3. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS,1994).
4. Mastuki, HS. & M. Ishom El-Saha (eds.), Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan  
    Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003).