Makalah Tentang Wasiat Wajibah

Islam adalah agama yang haq, agama yang sempurna, dan aturannya  yanng bersifat universal dan paripurna, didalam agama islam hak antara manusia dengan manusia lainnya sangat dijamin dan dilindungi salah satu hak yang diperjuangkan oleh islam yaitu tentang hak keperdataan seseorang untuk mendapatkan sesuatu atau bagian yang menjadi hak,nya baik itu berkaitan dengan warisan, wasiat, ataupun hibah, dan hak pengasuhan anak, hak pernikahan, dan hak keperdataan lainnya, dalam makalah ini penyusun mencoba menulis suatu makalah yang berkaitan dengan wasiat wajibah, semoga bermanfaat

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Islam merupakan agama yang mengatur serta menunjukkan kita untuk menjadi umat yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bertakwa tidak hanya menjalankan sholat maupun puasa tetapi mempelajari dunia. Salah satunya yaitu tentang ilmu mawaris yang merupakan ilmu untuk menyelesaikan masalah waris misalnya siapa-siapa saja yang mendapatkan warisan dan berapa jumlahnya.
Dari beberapa hal diatas sering muncul perbedaan pendapat para ulama tentang hal tersebut. Misalnya perbedaan dalam hal wasiat, oleh karena itu penulis mengambil judul “Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Wasiat Wajibah” sebagai judul makalah.
b. Batasam Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis membatasi masalah tentang:
1. Pengertian wasiat wajibah?
2. Perbedaan ulama dalam hal wasiat wajibah? 

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat Wajibah
Pengertian Wasiat diambil dari bahasa Arab Al-Washiyah yang artinya pesan, perintah atau nasehat.
Ulama fiqh mendefenisikan wasiat dengan menyerahkan harta dengan suka rela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang itu wafat, baik harta itu berbentuk materi ataupun berbentuk manfaat.
Wasiat bukan hanya dikenal dalam sistem hukum Islam tetapi juga di dalam sistem hukum barat, misalnya yang dinamakan testament yaitu suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal.
“Pemberian seseorang kepada orang lain, berupa benda, utang atau manfaat agar si penerima memiliki pemberian itu setelah di pewasiat meninggal dunia”.
Menurut Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Muhabadat Fil Al-Miras Al-Muqaram mendefenisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara suka rela atau tidak mengharapkan imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang berwasiat kematian orang yang berwasiat. 

B. Pendapat Para Ulama Tentang Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.
Ketentuan wasiat wajibah merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan surah Al-Baqarah 180.
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Ulama menafsirkan Q.S Al-Baqarah 180 berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu – bapak dan kerabat) yang asalnya wajib sampai sekarang pun kewajiban tersebut tetap dan dapat diperlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian harta peninggalan tetap diterapkan dan dilaksanakan, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa ketentuan wasiat wajibah tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan karena ketetapan hukum mengenai wasiat dalam ayat tersebut telah dinasakh baik oleh Al-Qur’an maupun Hadits.
Para ulama berbeda pendapat tentang pemberian wasiat wajibah ada yang membolehkan dan sebagian melarangnya. Perbedaan ini karena perbedaan menafsirkan surah Al-Baqarah 180 terhadap ketentuan hukum wasiat.
1. Pendapat yang membolehkan wasiat wajibah
Sebagian ulama berpendapat bahwa wsiat kepada walidin dan aqrabin sampami sekarang masih tetap diberlakukan. Ini merupakan pendapat Abi Abdillah Muhammad bin Umar Al-Razr, Sayyid Quthb, Muhammad Abduh, Said bin Jabir, Rabi’ bin Anas, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, Ibnu Abas dan Al-Hasan.
Alasan para ulama membolehkan wasat wajibah adalah:
- Seluruh Al-Qur’an adalah muhkamat artinya tidak ada yang nasakh dalam Al-Qur’an.
Jadi Q.S Al-Baqarah 180 tidak dinasakhkan baik oleh ayat-ayat mawaris ataupun Hadits.
- Q.S Al-Baqarah 180 dinasakhkan oleh ayat mawaris tetapi hanya sebagian saja.
- Q.S Al-Baqarah 180 bersifat umum.
2. Pendapat ulama yang menolak wasiat wajibah
Menurut Ibnu Umar dan Baidhawi mereka berpendapat bahwa ketentuan surah Al-Baqarah 180 telah dinasakhkan dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Alasan para ulama yang tidak memberlakukan wasiat wajibah:
- Ketentuan wasiat wajibah dalam Al-Baqarah 180 telah dinasakhkan oleh ayat-ayat mawaris.
- Ketentuan wasiat wajibah dalam Al-Baqarah 180 tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan karena ayat tersebut rtelah dinasakhkan oleh Hadits Washiyyati li waritsin buku oleh ayat-ayat mawaris. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Qurtubi.
- Al-Baqarah 180 tidak dapat diberlakukan karena telah dinasakhkan oleh ayat mawaris dan Hadits Rasulullah SAW. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Baidhawi.
- Sedangkan menurut Ibnu Katsir menyatakan wasiat wajibah dalam Al-Baqarah 180 tidak dapat diterapkan karena ayat tersebut telah dinasakhkan oleh ijma’.
  Syarat- syarat wasiat.
Terdapat 4 syarat dalam melaksanakan wasiat:
 1.     Orang yang Berwasiat
            Para ulama’ sepakat bahwa orang yang berwasiat adalah setiap orang yang memiliki barang manfaat secara sah dan tidak ada paksaan. Namun mereka berbeda dalam menentukan batas usia, karena ini erat kaitannya dengan kepemilikannya. Imam Malik mengatakan wasiat orang safih (bodoh) dan anak- anak yang belum baligh hukumnya sah. Pendapat ini didasarkan kepada riwayat umar ibn khattab yang membolehkan wasiat anak yang baru berumur 9 atau 10 tahun kepada seorang putri pamannya senilai 30 dirham. Imam Hanafi berpendapat bahwa wasiat anak yang belum baligh hukumnya tidak sah. Imam Syafi’I mempunyai dua pendapat. Kaitannya dengan orang kafir, wasiat mereka sah hukumnya, sepanjang barang yang di wasiatkan tidak diharamkan. Undang- undang wasiat mesir mensyaratkan si pewasiat harus sudah baligh, berakal sehat dan cerdas.
            KHI dalam hal ini mirip dengan pendapat Hanafi dan Syafi’I dalam satu pendapatnya. Dinyatakan dalam pasal 194:
1)      Orang yang telah berumur sekurang- kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2)      Harta benda yang di wasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
            Pada pasal 194 menegaskan bahwa batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah orang yang benar- benar telah dewasa secara undang- undang. Berbeda dengan batasan baligh dalam fikih.
2.     Orang  yang Menerima Wasiat
            Para ulama’ sepakat bahwa orang- orang atau badan yang menerima wasiat adalah bukan ahli waris, dan secara hukum dapat di pandang sebagai cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda. Ini sejalan dengan KHI psl. 171 huruf f, psl 194 ayat (1).
      Riwayat dari Abu Umamah berkata bahwaia  mendengar Rasulullah SAW, bersabda:

انّ الله قداعطى لكلّ ذى حقّ حّقه فلاوصيّة لوارث (رواه الترمذى)

“sesungguhnya Allah telah memberikan kepada orang yang mempunyai hak akan hak- haknya, maka tidak sah wasiat kepada ahli waris”.
      Hadis tersebut, oleh sebagian ulama’ di nilai bertentangan dengan ayat  yang men,jelaskan bahwa wasiat adalah untuk kedua orang tua dan kerabat. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa wasiat kepada kerabat yang bukan ahli waris boleh dilaksanakan tetapi makruh.
      Fuqaha’ syiah  ja’fariyah menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris yang menerima warisan adalah boleh, kendatipun ahli waris lainnya tidak menyetujuinya. Dasarnya petunjuk umum (dalalah al-‘am) Qs. Al- baqarah: 180.
      Pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat apabila ahli waris lain menyetujui adalah madzhab syafi’iyah, hanafiyah dan malikiyah. Dasarnya:

لاوصيّة لوارث الاّ ان يجيزالورثة (رواه الدرقطى)

“ tidak sah wasiat kepada ahli waris, kecuali apabila ahli waris lain membolehkannya”.
      Masalah ini juga terdapat pada KHI pasal 195 yang di dalamnya juga mengatur teknis pelaksanaan wasiat. Sayid Sabiq mengemukakan syarat orang yang menerima wasiat ada tiga, pertama tidak ahli waris si pewasiat, kedua si penerima wasiat hadir pada waktu wasiat dilaksanakan, dan ketiga, si penerima tidak melakukan pembunuhan yang di haramkan kepada si pewasiat. Kompilasi kemudian menegaskan bahwa dalam berwasiat hendaknya orang yang menerima di tunjuk secara tegas.  Pasal 196.
3.     Benda yang Diwasiatkan
       Pada dasarnya benda yang menjadi obyek wasiat adalah benda- benda atau manfaat yang dapat digunakan bagi kepentingan manusia secara positif. Para ulama sepakat dalam masalah tersebut. Namun mereka berbeda dalam wasiat yang berupa manfaat suatu benda, sementara bendanya itu sendiri tetap menjadi milik pemiliknya atau keluarganya.
         Sayid sabiq menegaskan bahwa wasiat dengan segala benda atau manfaat, seperti buah dari satu pohon, atau anak dari satu hewan adalah sah. Ini sejalan dengan pendapat jumhur , menurut mereka, manfaat dapat di kategorikan sebagai benda, karena itu wasiat berupa manfaat saja, hukumnya boleh. Kompilasi juga menyebutkan pada pasal 198.
            Wasiat disini dapat dilaksanakan maksimal sepertiga dari seluruh harta si pewasiat. Tidak boleh lebih, ini merupakan consensus ulama’. Kompilasi merumuskan dalam pasal  201. Penegasan pasal 201 kompilasi mengacu kepada pernyataan Rosululloh, bahwa sepertiga itu besar atau banyak. Demikian pendapat ulama’ salaf. Qotadah mengatakan, Abu bakar berwasiat dengan seperlima hartanya, Umar dengan seperempat hartanya. Ibnu rusyd memandang, wasiat dengan seperlima harta adalah lebih baik.
            Yang popular adalah pendapat seperti dituangtkan dalam kompilasi yang menyatakan maksimal wasiat adalah sepertiga. Dikuatkan lagi oleh sabda Nabi SAW.

انّ الله قدجعل لكم فى الو صّية ثلث اموا لكم زيا دة فى اعمالكم

Sesungguhnya Alloh menjadikan wasiat pada kamu sekalian sepertiga harta kalian sebagai tambahan amal kalian.

            Meskipun kompilasi tidak menegaskan masa perhitungan sepertiga wasiat, dapat ditegaskan bahwa sepertiga tersebut dihitungdari semua peninggalan pada saat kematian si pewasiat. Penegasan ini penting, sebab tidak jarang terjadi wasiat dilakukan jauh-jauh hari sebelum meninggal, sehingga terjadi pengurangan atau penambahan barang-barang yang menjadi miliknya saat pewasiat meninggal.

4.     Redaksi ( Sighot ) wasiat
            Ibnu rusyd mengatakan bahwa wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi yang jelas atau shorih dengan kata wasiat, dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran. Wasiat bisa dilakukan dengan tertulis, dan tidak memerlukan jawaban penerimaan secara langsung.
            Para ulama berbeeda pendapat tentang apakah penerimaan orang yang menerima wasiat merupakan syarat syahnya atau tidak? Imam Malik mengatakan bahwa penerimaan wasiat ( qobul ) merupakan syarat sah. Berbeda dengan Imam Syafi’I, menurutnt Syafi’I qobul yang menerima wasiat tidak merupakan syarat sah. Abu Hanifah dah kedua muridnya, Abu Yusuf dan Hasan Alsyaibani memandang bahwa qobul dalam wasiat harus ada. Alasannya, karena wasiat adalah tindakan ikhtiariah dan karena pernyataan menerima penting adanya. Seperti dimaksud pasal 195 ayat 1 wasiat perlu dibuktikan secara otentik.

C.    Yang Tidak Boleh Menerima Wasiat
      Ahli waris yang telah menerima bagian warisan, ia tidak berhak menerima wasiat, karena telah menerima bagian warisan. Meskipun demikian, jika ahli waris lainnya menyetujui dapat dilaksanakan. Rincian tentang yang tidak boleh menerima wasiat dijelaskan dalam pasal 207: “wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa”.
      Pasal 208 menyebutkan: “wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi – saksi pembuat akte tersebut”.
      Pengaturan tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan wasiat mengingat orang-orang yang disebut dalam pasal 207 sampai 208 diatas terlibat langsung dalam wasiat tersebut.
      Satu hal yang perlu ditambah disini adalah bahwa yang tidak boleh menerima wasiat adalah orang atau badan telah mempraktekkan dan menyalahgunakan tindakannya untuk kepentingan maksiat. Sejalan dengan sabda nabi SAW : laa ta’at li makhluk fi ma’siat alkholiq. (Tidak perlu dipatuhi oleh makhluk dalam maksiat kepada Tuhan).
  
D.    Batalnya wasiat
Kompilasi mengatur masalah ini cukup rinci, yaitu dalam pasal 197:
1)      Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum  karena,
a.       Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
c.       Dipersalahkan dengan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d.      Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memasukkan wasiat itu.
2)      Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk menerima wasiat itu :
a.       Tidak mengetahuai adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
b.      Mengetahui adanya pewasiat tersebut tapi ia menolak untuk menerimanya.
c.       Mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
3)      Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
      Memperhatikan isi pasal 197 tersebut dapat diperolekh kesan bahwa ketentuan batalnya wasiat tersebut dianalogikan kepada penghalang dalam kewarisan meskipun tidak seluruhnya. Dalam rumusan fiqih sayid Sabiq merumuskan hal-hal yang membatalkan wasiat sebagai berikut   :
a.       Jika pewasiat menderita gila hingga ia meninggal.
b.      Jika penerima wasiat meninggal sebelum pewasiat meninggal.
c.       Jika benda yang diwasiatkan rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat.



Peunoh Daly merinci hal- hal yang menjadikan wasiat batal kedalam tujuh hal, yaitu:
a.       Yang mennerima wasiat dengan sengaja membunuh pemberi wasiat.
b.      Yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat.
c.       Yang menerima wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya pemberi wasiat.
d.      Barang yang di wasiatkan itu hancur sebagian atau seluruhnya.
e.       Barang yang di wasiatkan itu ternyata bukan milik yang berwasiat.
f.       Yang berwasiat menarik kembali wasiatnya.
g.      Yang memberi wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan perbuatan hukum karena gila terus- menerus sampai meninggal.
E.     Pencabutan wasiat
Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 kompilasi, berbunyi:
1)      Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
2)      Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan di saksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan di saksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaries bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
3)      Bila wasiat dibuat secara tertulis,maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaries.
4)      Bila wasiat dibuat berdasarkan akta notaries, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte notaries.
Apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut maka surat wasiat yang dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat (pasal 203 ayat (2)).


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN:
-  Secara bahasa wasiat artinya “berpesan”. Sedangkan menurut istilah wasiat adalah sesuatu tasharruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat.
-  Syarat- syarat wasiat:
1. Orang yang Berwasiat
2. Orang  yang Menerima Wasiat
3. Benda yang Diwasiatkan
4. Redaksi ( Sighot ) wasiat
-   Batalnya wasiat, Kompilasi mengatur masalah ini cukup rinci, yaitu dalam pasal 197.
-   Pencabutan wasiat, Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 kompilasi.
- Yang Tidak Boleh Menerima Wasiat, Ahli waris yang telah menerima bagian warisan, ia tidak berhak menerima wasiat.

gambar surat wasiat