Mudhorobah adalah suatu sistem ekonomi syariah yang merupakan prinsip utama dalam suatu bisnis atau perusahaan lantas, bagaimanakah pandangan dalam islam mengenai penerapan sistem mudhorobah dalam sistem bank syariah?, disini penyusun mencoba menguraikan tentang prinsip-prinsip dalam mudhorobah tersebut, semoga bermanfaat.
.
Untuk memenuhi tugas matakuliah Fiqih Muamalah
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Mudharabah
merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz
lebih suka menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang sama.
Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal memotong
dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya.
Kadang-kadang
juga dinamakan dengan muqaradhah yang berarti sama-sama memiliki hak untuk
mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara
pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan. Dalam
istilah fikih muamalah, mudharabah adalah suatu bentuk
perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada
pengusaha/pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama
sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada,
akan ditanggung oleh si pemilik modal.
B.Rumusan Masalah
Allah
menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu
sama lainnya. Ada
yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam
mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan
namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan
dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan
tersebut.Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Al
Mudharabah.
C.Maksud dan Tujuan
·
Untuk
memahami maksud dan tujuan Mudharabah
·
Untuk
mengetahui manfaat mudharabah
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Mudharabah
Syarikat
Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al
Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan
kaum muslimin.Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk
mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil
dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang
umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:
عَلِمَ
أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ
يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang
lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu)
dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)
Dalam istilah
bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari kata muqaaradhah
yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan
تَقَارَضَ
الشَاعِرَانِ
“Dua orang
penyair melakukan muqaaradhah,” yakni saling
membandingkan syair-syair mereka.Disini perbandingan antara usaha pengelola
modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang.Ada
juga yang menyatakan bahwa kata itu diambil dari qardh yakni
memotong.Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya
hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk
diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan
usahanya.
B. Hukum Al Mudharabah Dalam Islam
Para ulama sepakat bahwa sistem
penanaman modal ini dibolehkan.Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah
ijma’ ulama yang membolehkannya.Seperti dinukilkan Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm
Ibnu Taimiyah dan lainnya.
Ibnu Hazm menyatakan: “Semua bab
dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Qur’an dan Sunnah yang kita ketahui
-Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah (pen). Kami
tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al Qur’an dan Sunnah.Namun
dasarnya adalah ijma’ yang benar.Yang dapat kami pastikan bahwa hal ini ada
dizaman shallallahu’alaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan
seandainya tidak demikian maka tidak boleh.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:
- Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma’
tanpa diketahui sandarannya dari Al Qur’an dan Sunnah dan ia sendiri
mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil Mudharabah dalam Al
Qur’an dan Sunah.
- Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang
menyelisihi adalah ijma’, padahal ia tidak memiliki disini kecuali ketidak
tahuan adanya yang menyelisihinya.
- Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam setelah mengetahui sistem muamalah ini. Taqrier
(persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam termasuk satu jenis
sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar dari sunnah
menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini.
- Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua
belah fihak yang ada dalam Al Qur’an meliputi juga Al Qiradh dan
Mudharabah
- Madzhab beliau menyatakan harus ada nash dalam Al
Qur’an dan Sunnah atas setiap permasalahan, lalu bagaimana disini
meniadakan dasar dalil Al Qiradh dalam Al Qur’an dan Sunnah
- Tidak ditemukannya dalil tidak menunjukkan
ketidak adaannya
- Atsar yang ada dalam hal ini dari Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam tidak sampai pada derajat pasti (Qath’i) dengan semua
kandungannya, padahal penulis (Ibnu Hazm) memastikan persetujuan Nabi
dalam permasalahan ini.
Demikian juga Syaikh Al Albani
mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan menyatakan: “Ada beberapa bantahan (atas pernyataan
beliau), yang terpenting bahwa asal dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas
(yang melarang) beda dengan ibadah, pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali
ada nas, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al Qiradh
dan Mudharabah jelas termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam Al
Qur’an yang membolehkan perdagangan dengan keridhoan dan ini jelas mencakup Al
Qiraadh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan
ijma’ yang beliau akui sendiri.”
C. Jenis Al Mudharabah
- Al Mudharabah Al Muthlaqah
(Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik
modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola
tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola
bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib
(pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan
kemaslahatan.
- Al Mudharabah Al Muqayyadah
(Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan
modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu
atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib. Jenis kedua ini
diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa
pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil
syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan
keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya terletak
pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.
D. Rukun Al Mudharabah
Al Mudharabah seperti
usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
- Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor
(pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
- Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan
keuntungan.
- Pelafalan perjanjian.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh
Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun Mudharabah ada lima, yaitu
Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi.Ini
semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun
di atas.
Rukun pertama: adanya dua atau lebih
pelaku.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah
pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya
memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian
mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas
pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau
pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan
riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal
tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat
dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas
pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan
haram.
Rukun kedua: objek Transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah
mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada
empat syarat modal yang harus dipenuhi:
- Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al
Naqd) dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan nilainya
ketika akad menurut pendapat yang rojih.
- Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
- Modal yang diserahkan harus tertentu.
- Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan
pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya
b. Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan
beberapa syarat:
- Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
- Tidak menyusahkan pengelola modal dengan
pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali
didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara
yang sangat jarang sekali adanya.
Asal dari usaha dalam Mudharabah
adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak
dilarang syariat.Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan
barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.
Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha
dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah. Dengan dasar
dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan
berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.
c. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk
mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah
disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
- Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja
sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal.
Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya
untuk satu pihak saja.
- Keuntungan harus diketahui secara jelas.
- Dalam
transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi
pemilik modal (investor) dan pengelola
Syarat Dalam Mudharabah [42]
Pengertian syarat dalam Al
Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang
mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al
Mudharabah ini ada dua:
1. Syarat yang shahih (dibenarkan)
yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya
serta memiliki maslahat untuk akad tersebut
2. Syarat yang fasad (tidak benar).
Berakhirnya Usaha Mudharabah
Mudharabah termasuk
akad kerjasama yang diperbolehkan.Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari
salah satu pihak.Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam
transaksi usaha semacam ini.Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi
kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir
dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Daftar pustaka
- Al Mughni op.cit 7/133
- Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa
Tathbiq, op.cit hal 122
- Al Fiqhu Al Muyassar op.cit. hal 185. Hal inipun
diakui PKES (pusat Komunikasi Ekonomi Syari’at) indonesia dalam buku saku
perbankan Syari’at hal 37.
- Al Mugnhi op.cit 7/133
- Maratib Al Ijma’ karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan
cetakan, penerbit Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut. hal 91.
- Majmu’ Fatawa 29/101
- Maratib Al Ijma’ op.cit hal 91-92.
- Naqdh Maratib Al Ijma’ karya Syeikh Islam yang
dicetak sebagai foot note kitab Maratib Al Ijma hal 91-92.
- Irwa’ Al Gholil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al
Sabil karya Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun
1405 H. Al maktab Islami, Baerut. 5/294
- Majmu’ Fatawa 19/195-196
- Dalam kitab al-Qiraadh bab 1 halaman 687 dan
dibawakan juga oelh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa
19/196
- Dinilai Shohih Oleh Syeikh Al Albani dalam Irwa
Al Gholil 5/290-291
- Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
- Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 186.
- Demikianlah yang dirojihkan penulis kitab Al Fiqh
Al Muyassar hal 187.
- Lihat Takmilah AL Majmu’ Syarhu Al Muhadzab imam
nawawi oleh Muhammad Najieb Al Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu’
Syatrhul Muhadzab 15/148
- Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal169.
- Lihat Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
- Lihat kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu,
karya prof. DR Abdullah Al Mushlih dan prof. DR. Shalah Al Showi yang
diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Abu Umar Basyir dengan
judul Fiqh Ekonimi Keuangan Islam, penerbit Darul Haq, Jakarta hal. 173.
- Lihat Maratib Al Ijma’ hal 92 dan Takmilah AL
Majmu’ op.cit 15/143
- Pendapat inilah yang dirojihkan syeikh Ibnu
Utsaimin dalam Al Syarhu Al Mumti’. Op.cit. 4/258Al Bunuk Al Islamiyah
op.cit hal. 123 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/144
- Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/145