POSISI
WAKAF DALAM HUKUM PERDATA ISLAM INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakaf sebagai perbuatan hukum sudah
lama melembaga dan dipraktikan di Indonesia. Diperkirakan lembaga wakaf sudah
ada sejak Islam masuk ke Nusantara kemudian berkembang seiring dan sejalan
dengan perkembangan agama Islam di Indonesia. Perkembangan wakaf dari masa
kemasa ini tidak didukung oleh peraturan formal yang mengaturnya, praktik
perwakafan selama itu hanya berpedoman kepada kitab-kitab fikih tradisional
yang disusun beberapa abad yang lalu, banyak hal sudah tidak memadai lagi.
Pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur, dan praktik perwakafan
dalam bentuk peraturan masih relatif
baru, yakni sejak lahirnya undang-undang nomor 5 taahuun 1960 tentang
agraria.
Praktik wakaf yang diterapkan di
Indonesia masih dilaksanakan secara konvensional yang memungkinkan rentan terhdap
berbagai masalah dan tidak sedikit yang berahir di pengadilan. Kondisi ini
diperparah dengan adanya penyimpangan terhadap benda-benda wakaf yang dilakukan
oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, dan sudah menjadi rahasia umum ada
benda-benda wakaf yang diperjual belikan.
B. Rumusan Masalah
Adapun
yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Wakaf
Dalam Konsepsi Hukum Islam
2. Pengaturan Wakaf di Indonesia
3. Perwakafan Menurut Kompilasi Hukum
Islam
4. Penyelesaian Perselisihan Harta
Wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
A.Wakaf Dalam Konsepsi Hukum Islam
Menurut pengertian bahasa, perkataan
” waqf” berasal dari kata arab “waqofa-yaqifu-waqfa” yang berarti
ragu-ragu, berhenti, memperlihatkan, memerhatikan, meletakkan, mengatakan, mengabdi,
memahami, mencegah, menahan ,dan tetap berdiri.[1][1] Dalam pengertian istilah secara
umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal (tahbisul ahli)lalu menjadiakan
manfaatnya berlaku umum. Pengertian cara pemanfaatannya adalah menggunakan
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.
Para pakar hokum islam berbeda
pendapat dalam memberi definisi wakaf secara hokum (istilah). Al minawi yang
bermahzab syafii mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan harta benda yang
dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan
keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum selain harta
maksiat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Al Kabisi
yang bermahzab Hanafi mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan benda dalam
kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang miskin dengan
tetap menjaga keutuhan bendanya. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wakaf itu
menahan benda milik si wakif dan benda yang disedekahkannya adalah manfaatnya
saja. Imam Malik mengemukakan bahwa wakaf itu adalah menjadikana manfaat benda
yang dimiliki baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang
berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang
diperjanjikan atau yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan.[2][2]
Dasar hokum pelaksanaan wakaf dalam
Islam adalah ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW[3][3]. Adapun yang dinyatakan menjadi
dasar hokum wakaf oleh para ulama, Alquran Surat Al Hajj ayat 77 dan surat al
Imran ayat 92.
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.(Q.S. Al-Haj:77)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
imam jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah r.a. sesunguhnya
Nabi SAW. Bersabda yang artinya:
“Apabila seorang mati manusia, maka
terputuslah atau terhenti pahala perbuatanya kecuali tiga perkara:shadaqatul
jariyah (wakaf),ilmu yang dimanfaatkan, baik dengan cara mengajar maupun dengan
karangan dan anak yang shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya.”
B. Pengaturan Wakaf di Indonesia
Pengaturanwakaf di Indonesia sebelum kedatangan kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan
ajaran Islam yang bersumber dari kitab fiqh bermahzab Syafii. Pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, pengaturan wakaf telah dilaksanakan dengan
mengeluarkan berbagai peraturan tentang wakaf.[4][4] Antara lain:
1. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen
pertama tanggal 31 januari 1905 no. 435, sebagaiman termuat dalam Bijblad 1905 nomor 6196 tentang
toezicht opden bouw van Mohammedaansche bedenhuizen.Bahwa mendirikan
tanah wakaf harus mendapat izin bupati.
2.
Surat
Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 juni 1931 no.1361/A termuat dalam
Bijblad No. 125/3 tahun 1931 tentang Toezicht van de regering op
mohammendanshe bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Bahwa untuk mendirikan
tanah wakaf harus mendapat izin dari bupati untuk tidak bertentangan dengan
kepentingan umum.
3.
Surat
Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A termuat dalam
Bijblad No.13390 tahun 1934, tentang Toezicht de regering op mohammedaansche
bedehuizen Vridagdiensten en wakafs. Bahwa wakaf supaya diberitahukan
kepada bupati untuk dicatat dan dibebaskan dari pajak.
4.
Surat
Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 27 mei 1935 no.1273/A termuat dalam
bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezicht van de regering op
mohammendanshe bedehuizen en Wakafs.bahwa wakaf cukup diberitahukan.[5][5]
Setelah proklamasi
kemerdekaan RI , peraturan wakaf sebagiman disebut diatas masih tetap berlaku
berdasarkan bunyi pasal II aturan peralihan Undang-Undang dasar 1945. Sejak
terbentuknya kementrian agama pada tanggal 3 januari 1936, urusan tanah wakaf
menjadi urusan kementrian agama bagian D (ibadah social). Selanjutnya
kementrian agama pada tanggal 8 oktober 1956 mengeluarkan surat edaran nomor
5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah.[6][6]
Lahirnya Undang-Undang nomor 5 tahun
1960 tentang agraria telah memperkokoh eksistensi wakaf di Indonesia. Untuk
memberi kejelasan hokum tentang wakaf dan sebagai realisasi dari undang-undang
ini, pemerintah telah mengeluarkan Peratutan Pemerintah nomor 28 tahun 1977
tentang perwakafan tanah milik. Sejak berlakunya PP tersebut maka semua
peraturan perundang-undangan tentang perwkafan sebelumnya, sepanjang
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.[7][7]
Setelah terbitnya PP nomor 28 Tahun
1977 tentang perwakafan tanah milik, berturut-turut diterbitkan beberapa
peraturan tentang pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut,diantaranya:
Pertama,Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
6 Tahun 1977 tentang pendaftaran tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik. Kedua,
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang peraturan pelaksanaan PP
nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Ketiga, Intruksi bersama
antara Menteri Agama Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 1978 tentang
pelaksanaan PP no 28 tahun1977 tentang perwakafan tanah milik. Keempat, Peraturan
Direktorat Jenderal Bimas Islam Departemen Agama nomor Kep/D/75/D1978 tentang
formulir dan pedoman pelaksanaan peraturan tentang perwakafan tanah milik. Kelima,
Keputusan Menteri Agama nomor 73 tahun 1978 tentang Pendelegasian
wewenang kepada kepala kantor wilayah
departemen agama propinsi/setingkat diseluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap
Kepala KUA Kecamatan sebagai pejabat pembuat akta ikrar wakaf. Keenam, Intruksi
Menteri Agama RI nomor 3 tahun 1979 tanggal 19 juni 1979 tentang petunjuk
pelaksanaan Keputusan Menteri Agama nomor 73 tahun 1978. Ketujuh, Surat
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji nomor D.Ii/5/07/1981 tanggal 17 februari
1981 kepada Gubernur KDH tk. I di seluruh Indonesia, tentang pendaftaran
perwakafan tanah milik dan permohonan keringanan atau pembebasan dari semua
pembebanan biaya pendaftaran.[8][8]
Eksistensi perwakafan di Indonesia
diperkuat lagi dengan lahirnya UU no 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Selanjutnya sebagai hokum materiil pemerintah telah mengeluarkan Kompilasi
Hokum Islam. Setelah sekian lama menunggu, pada tanggal 27 oktober 2004
Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengesahkan UU no 41 tahun 2004 tentang wakaf,
Lembaran Negara RI tahun 2004 nomor 159.
C. Perwakafan Menurut Kompilasi Hukum
Islam
Hokum perwakafan sebagaimana yang
diatur oleh Kompilasi Hokum Islam di Indonesia pada dasarnya sama dengan hokum
perwakafan yang telah diatur oleh perundang-undangan yang telah ada sebelumnya.
Dalam beberapa hal hokum perwakafan dalam kompilasi tersebut merupakan pengembangan
dan pnyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hokum Islam.
Hokum perwakafan dalam Kompilasi Hukum Islam mulai dari pasal 215 sampai dengan
pasal 229.
Beberapa ketentuan hokum perwakafan
menurut kompilasi yang merupakan pengembangan dan penyempurnaan terhadap materi
perwakafan yang ada pada perundang-undangan sebelumnya, antara lain:
1. Obyek Wakaf
Menurut
kompilasi hokum Islam bahwa obyek wakaf tersebut tidak hanya berupa tanah milik
sebagaimana yang disebutkan dalam PP nomor 28 tahun 1977. Obyek wakaf menurut
kompilasi tersebut lebih luas. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam pasal
215.
2. Sumpah Nadzir
Nadzir
sebelum melaksanakan tugas harus mengucapkan sumpah dihadapan kepala KUA
kecamatan. Hal ini diatur dalam pasal 219 ayat 4.
3. Jumlah Nadzir
Jumlah
nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan sekurang-kurangnya terdiri
dari tiga orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala KUA
Kecamatan atas saran Majeis Ulama Kecamatan ,dan camat setempat (pasal 219 ayat
5).
4. Perubahan Benda Wakaf
Menurut
pasal 225 perubahan benda wakaf hanya
dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan tertulis dari Kepala KUA Kecamatan atas saran dari Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat.
5. Pengawasan Nadzir
Pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nadzir dilakukan secara
bersama-sama oleh Kepala KUA Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan
Agama yang mewilayahinya (pasal 227).
6. Peranan Majelis Ulama dan Camat
Kompilasi
Hokum Islam dalam pewakafan memberikan kedudukan dan peranan yang lebih luas
kepada Majelis Ulama Indonesia Kecamatan dan Camat setempat dibanding dengan
ketentuan yang diatur oleh perundang-undangan sebelumnya. Hal ini antara lain
dapat kita lihat dalam pasal 219 ayat 3 dan 5, pasal 220 ayat 2,pasal 221 ayat
2, pasal 222,pasal 225 ayat 2 dan pasal 227.[9][9]
D. Penyelesaian Perselisihan Harta
Wakaf
1. Penyelesaian perselisihan
Pasal
12 PP no 28 tahun 1977 jo. Pasal 49 ayat 1 UU no 7 tahun 1989 menegaskan bahwa
perselisihan harta wakaf, disalurkan melalui pengadilan agama setempat yang
mewilayahi benda wakaf tersebut. Pasal 17 peraturan menteri agama nomor 1 tahun
1978 pasal 17 menyatakan:
a) Pengadilan agama yang mewilayahi
tanah wakaf berkewajiban menerima dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut
syariat islam yang antara lain mengenai:
1. wakaf, wakif, nadzir,ikrar dan
saksi
2. bayyinah (alat bukti administrasi
tanah wakaf)
3. pengelolaan dan pemanfaatan hasil
wakaf.
b) Pengadilan agama dalam melaksanakan
ketentuan ayat (1) pasal ini berpedoman pada tata cara penyelesaian perkara
pada peradilan agama.
Mengenai teknis dan tata cara
pengajuan gugatan ke pengadilan agama, dilakukan menurut ketentuan yang
berlaku. Kemudian pasal 229 kompilasi menegasan: hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan
sungguh-sumgguh nilai-nilai hokum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.[10][10]
2. Penyelesaian Sengketa dan Pidana
dalam Perwakafan
Bagaiman
cara penyelesaian terhadap sengketa wakaf? Dalam UU no 1 tahun 2004 tentang
wakaf disebutkan bahwa penyelesaian tentang sengketa perwakafan ditempuh
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun apabila penyelesaian sengketa
ini tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase,atau
pengadilan.
Penyelesaian
perselisihan yang menyangkut persoalan kasus-kasus harta benda wakaf diajukan
kepada pengadilan agama dimana harta benda wakaf dan Nazhir itu berada, sesuai
dengan peraturan perundang-undanagan yang berlaku. Dengan demikian, jelaslah
masalah-masalah lainnya yang secara nyata menyangkut hokum perdata,sedangkan
yang terkait dengan hokum pidana diselesaikan melalui hokum acara dalam
pengadilan negeri.[11][11]
Selain
masalah penyelesaian sengketa, UU wakaf juga mengatur ketentuan pidana umum
terhadap penyimpangan benda wakaf dan pengelolaannya sebagai berikut:
a). Bagi yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan,
menjual, mewariskan, mengalihkkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya tanpa
izin di pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
b). Bagi yang dengan
sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin dipidana penjara
paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00(empat
ratus juta rupiah).
c). Bagi yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil
fasilitas atau hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi
jumlah yang ditentukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).[12][12]
Ketentuan pidana merupakan suatu
keharurusan dalam sebuah peraturan perundangan yang mengatur tentang suatu
persoalan di negeri kita. Dalam sebuah UU harus mencantumkan ketentuan khusus
mengenai sanksi pidana sebagai penguat dan jaminan agar supaya peraturan
dimaksud dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Namun, untuk memaksimalkan peran
Peradilan Agama nampaknya perlu difungsikan sebagai Peradilan Syariah bagi
setiap Warga Negara pemeluk agama Islam dalam kacamata hokum komprehensif.
Dalam kedudukannya diatas, Peradilan Agama harus diberdayakan sebagai payung
hokum bagi umat Islam dalam penyelesaian semua kasus-kasus perdata dan pidana
yang berkaitan dengan hukum muamalat.
Dengan adanya ketentuan tersebut
maka pelaksanaan perwakafan (khususnya tanah) sudah ditentukan secara pasti
dimana penyimpangan terhadap ketentuan itu sudah dapat dituntut sebagai tindak
pidana.[13][13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan wakaf sebelum
kedatangan kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam
yang bersumber dari kitab fiqh bermahzab Syafii.
Lahirnya
Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang agraria telah memperkokoh eksistensi
wakaf di Indonesia. Selanjutnya lahirlah secara beruntun peraturan-peraturan
lain tenteng lain tentang wakaf, baik berupa UU maupun Peraturan Pemerintah.
Dan yang terbaru telah disahkan peraturan wakaf pada tanggal 27 oktober 2004
Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengesahkan UU no 41 tahun 2004 tentang wakaf,
Lembaran Negara RI tahun 2004 nomor 159.
Hokum perwakafan dalam Kompilasi
Hukum Islam merupakan pengembangan dan pnyempurnaan pengaturan
perwakafan sesuai dengan hokum Islam. Hokum perwakafan dalam Kompilasi Hukum
Islam mulai dari pasal 215 sampai dengan pasal 229. Penyelesaian perselisihan
diatur Pasal 12 PP no 28 tahun 1977 jo. Pasal 49 ayat 1 UU no 7 tahun 1989
menegaskan bahwa perselisihan harta wakaf, disalurkan melalui pengadilan agama setempat
yang mewilayahi benda wakaf tersebut
B. Saran
Semoga
dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber
inspirasi bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya
bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh
sebab itu kami sadar bahwa makalh ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama
dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat pemberdayaan wakaf
direktorat jenderal bimbingan masyarakat islam departemen agama RI ,Fiqih
Wakaf,Jakarta:,2007
Halim, Abdul,Hukum Perwakafan di
Indonesia,Ciputat: Ciputat Press,2005
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam di Indonesia,Jakarta: Kencana,2006
Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di
Indonesia,Jakarata; Raja Grafindo Persada,2003
Suhendi, Hendi,Fiqh Muamalah,Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2007
Usman, Suparman,Hukum Perwakafan di Indonesia,Jakarta:Darul
Ulum Press,1999
[5][5]
Suparman Usman,Hukum Perwakafan di Indonesia,(Jakarta:Darul Ulum
Press,1999),hlm.50-51. dan,Abdul Halim,Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat:Ciputat
Press,2005),hlm.95
[11][11]
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI ,Fiqih Wakaf,(Jakarta:,2007),hlm.84