Berikut ini adalah adalah artikel yang berisi tentang kumpulan makalah-makalah mahasiswa, dimana dalam blog ini memuat berbagai makalah yang memberi pencerahan terhadap para mahasiswa yang menjadikan bahan referensi bagi para mahasiswa yang sedang menyusun tugas makalah dan tugas-tugas kuliah di kampus, berikut ini kami sajikan salah satu makalah yang berjudul Sistem Kekerabatan Masyarakat Suku Batak.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara yang memiliki banyak keberagaman budaya yang berbeda di setiap tempatnya. Kebudayaan atau budaya itu sendiri awalnya berasal dari bahasa sansekerta yaitu “budhi” yang berarti akal, dan “dayah” yang berarti kekuatan. Jadi, budaya adalah suatu kekuatan yang dimiliki masyarakat untuk menciptakan dan mengkreasikan hasil akal pikiran sehingga terciptalah suatu karya yang akhirnya menjadi kebudayaan suatu tempat. Budaya itu sendiri terwujud atas tiga bentuk, yaitu cipta (berupa rancangan/pemikiran/ide), rasa (berupa tindakan yang diwujudkan dalam tata karma), dan karsa (hasil karya manusia).
Salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia yang persentasi penggunanya lumayan banyak serta salah satu suku yang paling berpengaruh adalah kebudayaan batak. Budaya ini tepatnya berada di wilayah Sumatra yaitu Sumatra Utara. Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk mempresentasikan kebudayaan-kebudayaan batak yang diketahui secara umum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh warga batak?
2. Bagaimana system kekerabatan pada budaya batak?
3. Apakah upacara pemakaman ni tartua itu?
4. Bagaimana prosesi jalannya pernikahan sesuai dengan adat batak?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis menulis makalah ini yaitu agar penulis dan peserta didik lainnya dapat mengetahui kebudayaan-kebudayaan yang ada pada komunitas batak yang khususnya berada di wilayah batak, yaitu Sumatra Utara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekerabatan Suku Batak
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. cikal bakal Suku Batak berasal dari daerah Toba, Pulau Samosir, Sumatera Utara. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Mandailing, dan Angkola. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatera Utara dan terkenal akan logat bahasanya yang terkesan ‘keras’ bagi orang-orang luar. Padahal, bagi mereka logat seperti itu adalah keseharian yang mereka gunakan. Suku ini adalah salah satu suku yang paling berpengaruh di Indonesia di mana mereka banyak yang mengisi jabatan di pemerintah maupun posisi-posisi penting lainnya, seperti di bidang ekonomi.
Suku yang berdampingan dengan suku nias, minangkabau, gayo, alas, melayu, bugis, dayak dan rimba ini menggunakan tanda persaudaraan dengan menggunakan marga. Ada bermacam-macam marga di dalam sebuah lingkup suku Batak yang pastinya antar mereka terdapat perbedaan karena pengaruh geografis maupun orang yang berkuasa saat itu. Namun perbedaan tersebut malah menjadikan sebuah keanekaragaman yang menarik dalam kehidupan suku tersebut. Seperti dituturkan Gimmy Rusdin Sinaga, pengusaha yang bergerak di bidang jasa tenaga kerja berasal dari Batak Toba, tak dapat dipungkiri perbedaan antar suku itu pasti ada. Tapi masyarakat Batak menyikapinya dengan arif. Misalnya, bahasa orang-orang Batak Karo, Tapanuli Selatan dan Simalungun pastinya akan beda dengan Batak Toba. Jika logat yang diucapkan oleh orang Batak terkesan kasar dengan suara besar karena memang sudah tata budaya yang melekat. Hal ini tak lain adalah pengaruh kondisi geografis di Batak yang banyak terdapat pegunungan. Sehingga antar sesama orang Batak akan berbicara dengan suara lantang dan keras.
Nama Marga yang melekat di belakang nama orang Batak menunjukkan garis keturunan. Pengertian Marga hampir sama dengan trah dalam budaya Jawa. Sehingga orang Batak yang semarga secara emosional hubungannya akan lebih erat. Bahkan bisa lebih akrab dari saudara kandung sendiri. kedekatan hubungan teritorial mengalahkan kedekatan hubungan biologis.
Budaya merantau bukan merupakan budaya dari suku Batak yang merantau ke daerah maupun pulau seberang. Di wilayah lain (perantauan), mereka ada yang bekerja maupun menuntut ilmu. Seperti halnya di Yogya yang terdapat ratusan orang-orang dari Batak, mereka yang masih muda-muda banyak yang kuliah di Yogya. Untuk masyarakat Toba di Yogya menurutnya kebanyakan adalah bekerja dan pensiunan karena banyak dari mereka yang masuk menjadi anggota militer.
Sekalipun mereka merantau, suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Mereka mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi. Hal ini juga dilakukan oleh perhimpunan orang-orang Batak di Yogya. Setiap marga memiliki jadwal pertemuan sendiri untuk sekadar silaturahmi. “Bedanya orang Batak dengan Jawa ketika hendak merantau sangat jelas. Jika orang Batak hendak merantau oleh orang tuanya akan didoakan dan dipestakan secara adat seraya mengatakan kalau belum sukses jangan pulang dulu. Sehingga jarang sekali terlihat orang Batak yang merantau dalam setahun pulang beberapa kali apalagi kalau belum dirasa cukup sukses mereka belum akan kembali ke kampung halaman. Nah, inilah yang menjadikan tanggung jawab besar orang Batak di perantauan,” katanya. Karya seni musik kerap kali ditampilkan dalam acara ritual di gereja-gereja, pernikahan, perhelatan adat Batak.
B. Kepercayaan
Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
• Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
• Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
• Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka. Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular (ulok) dengan boru Hutabarat, dimana boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.
Saat ini, kepercayaan yang mayoritas dianut oleh masyarakat batak adalah Islam dan Kristen. Islam masuk ke dalam masyarakat batak berawal dari terjadinya perang paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan Dairi.
Sementara itu, Kristen masuk ke daerah batak diawali oleh Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka. Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Nasrani dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
C. Falsafah dan Sistem Kemasayarakatan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara yang memiliki banyak keberagaman budaya yang berbeda di setiap tempatnya. Kebudayaan atau budaya itu sendiri awalnya berasal dari bahasa sansekerta yaitu “budhi” yang berarti akal, dan “dayah” yang berarti kekuatan. Jadi, budaya adalah suatu kekuatan yang dimiliki masyarakat untuk menciptakan dan mengkreasikan hasil akal pikiran sehingga terciptalah suatu karya yang akhirnya menjadi kebudayaan suatu tempat. Budaya itu sendiri terwujud atas tiga bentuk, yaitu cipta (berupa rancangan/pemikiran/ide), rasa (berupa tindakan yang diwujudkan dalam tata karma), dan karsa (hasil karya manusia).
Salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia yang persentasi penggunanya lumayan banyak serta salah satu suku yang paling berpengaruh adalah kebudayaan batak. Budaya ini tepatnya berada di wilayah Sumatra yaitu Sumatra Utara. Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk mempresentasikan kebudayaan-kebudayaan batak yang diketahui secara umum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh warga batak?
2. Bagaimana system kekerabatan pada budaya batak?
3. Apakah upacara pemakaman ni tartua itu?
4. Bagaimana prosesi jalannya pernikahan sesuai dengan adat batak?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis menulis makalah ini yaitu agar penulis dan peserta didik lainnya dapat mengetahui kebudayaan-kebudayaan yang ada pada komunitas batak yang khususnya berada di wilayah batak, yaitu Sumatra Utara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekerabatan Suku Batak
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. cikal bakal Suku Batak berasal dari daerah Toba, Pulau Samosir, Sumatera Utara. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Mandailing, dan Angkola. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatera Utara dan terkenal akan logat bahasanya yang terkesan ‘keras’ bagi orang-orang luar. Padahal, bagi mereka logat seperti itu adalah keseharian yang mereka gunakan. Suku ini adalah salah satu suku yang paling berpengaruh di Indonesia di mana mereka banyak yang mengisi jabatan di pemerintah maupun posisi-posisi penting lainnya, seperti di bidang ekonomi.
Suku yang berdampingan dengan suku nias, minangkabau, gayo, alas, melayu, bugis, dayak dan rimba ini menggunakan tanda persaudaraan dengan menggunakan marga. Ada bermacam-macam marga di dalam sebuah lingkup suku Batak yang pastinya antar mereka terdapat perbedaan karena pengaruh geografis maupun orang yang berkuasa saat itu. Namun perbedaan tersebut malah menjadikan sebuah keanekaragaman yang menarik dalam kehidupan suku tersebut. Seperti dituturkan Gimmy Rusdin Sinaga, pengusaha yang bergerak di bidang jasa tenaga kerja berasal dari Batak Toba, tak dapat dipungkiri perbedaan antar suku itu pasti ada. Tapi masyarakat Batak menyikapinya dengan arif. Misalnya, bahasa orang-orang Batak Karo, Tapanuli Selatan dan Simalungun pastinya akan beda dengan Batak Toba. Jika logat yang diucapkan oleh orang Batak terkesan kasar dengan suara besar karena memang sudah tata budaya yang melekat. Hal ini tak lain adalah pengaruh kondisi geografis di Batak yang banyak terdapat pegunungan. Sehingga antar sesama orang Batak akan berbicara dengan suara lantang dan keras.
Nama Marga yang melekat di belakang nama orang Batak menunjukkan garis keturunan. Pengertian Marga hampir sama dengan trah dalam budaya Jawa. Sehingga orang Batak yang semarga secara emosional hubungannya akan lebih erat. Bahkan bisa lebih akrab dari saudara kandung sendiri. kedekatan hubungan teritorial mengalahkan kedekatan hubungan biologis.
Budaya merantau bukan merupakan budaya dari suku Batak yang merantau ke daerah maupun pulau seberang. Di wilayah lain (perantauan), mereka ada yang bekerja maupun menuntut ilmu. Seperti halnya di Yogya yang terdapat ratusan orang-orang dari Batak, mereka yang masih muda-muda banyak yang kuliah di Yogya. Untuk masyarakat Toba di Yogya menurutnya kebanyakan adalah bekerja dan pensiunan karena banyak dari mereka yang masuk menjadi anggota militer.
Sekalipun mereka merantau, suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Mereka mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi. Hal ini juga dilakukan oleh perhimpunan orang-orang Batak di Yogya. Setiap marga memiliki jadwal pertemuan sendiri untuk sekadar silaturahmi. “Bedanya orang Batak dengan Jawa ketika hendak merantau sangat jelas. Jika orang Batak hendak merantau oleh orang tuanya akan didoakan dan dipestakan secara adat seraya mengatakan kalau belum sukses jangan pulang dulu. Sehingga jarang sekali terlihat orang Batak yang merantau dalam setahun pulang beberapa kali apalagi kalau belum dirasa cukup sukses mereka belum akan kembali ke kampung halaman. Nah, inilah yang menjadikan tanggung jawab besar orang Batak di perantauan,” katanya. Karya seni musik kerap kali ditampilkan dalam acara ritual di gereja-gereja, pernikahan, perhelatan adat Batak.
B. Kepercayaan
Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
• Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
• Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
• Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka. Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular (ulok) dengan boru Hutabarat, dimana boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.
Saat ini, kepercayaan yang mayoritas dianut oleh masyarakat batak adalah Islam dan Kristen. Islam masuk ke dalam masyarakat batak berawal dari terjadinya perang paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan Dairi.
Sementara itu, Kristen masuk ke daerah batak diawali oleh Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka. Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Nasrani dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
C. Falsafah dan Sistem Kemasayarakatan
Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal. Dalam Bahasa Batak Angkola Dalihan na Tolu terdiri dari Mora, Kahanggi, dan Anak Boru
• Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
• Dongan Tubu/Kahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
• Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifak kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual. Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raji no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
D. Upacara Adat Batak Dalihan Na Tolu untuk Pemakaman Partuat Ni Natua Tua
Upacara Adat Suku Batak diantaranya yaitu Upacara pemakaman partuat ni natua tua merupakan pemakaman bagi orang tua usia lanjut yang di adakan sebagai bentuk penghormatan terhadap almarhum. Dalam adat Batak DNT ini, terdapat beberapa tingkatan pemakaman berdasar regenerasi almarhum. Almarhum akan dikatakan sempurna bila meninggal dengan memiliki nini (cicit dari anak laki-laki) atau nano (cicit dari anak perempuan).
Menurut HP Panggabean SH MS, tokoh adat Batak, upacara yang disebut mate saur matua bulung ini, merupakan upacara adat batak yang paling tinggi nilainya. Pasalnya, proses persiapan pelaksanaan dan upacara penutupannya akan dihadiri semua unsur DNT dari berbagai penjuru daerah, diikuti ruhut-ruhut paradaton yang sangat kompleks dan melelahkan. Akibat pengaruh modernisasi, upacara pemakaman yang didahului upacara adat partuat ni natua tua di tano parserakan (kota-kota perantauan) mulai bergeser.
E. Upacara Pernikahan Adat Batak
Berikut sedikit ulasan mengenai urut-urutan pra sampai pasca pernikahan adat Na Gok :
1. Mangarisika, adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan.
2. Marhori-hori Dinding/marhusip, yaitu Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.
3. Marhata Sinamot, yaitu Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang oada kerabat wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).
4. Pudun Sauta, yaitu Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari :
• Kerabat marga ibu (hula-hula)
• Kerabat marga ayah (dongan tubu)
• Anggota marga menantu (boru)
• Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
• Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.
5. Martumpol (baca : martuppol), yaitu Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja yang dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).
6. Martonggo Raja atau Maria Raja, adalah suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara
7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan), yaitu pengesahan pernikahan kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja). Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen)
8. Pesta Unjuk, yaitu suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar :
• Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan.
• Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
9. Mangihut di ampang (dialap jual), Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.
10. Ditaruhon Jual. Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.
11. Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat ni si Panganon)
• Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria.
• Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru
12. Paulak Unea
• Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).
• Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru.
13. Manjahea. Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian.
14. Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga). Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur). Namun, saat ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga langsung setelah acara adat ditempat acara adat dilakukan, yang mereka namakan “Ulaon Sadari”.
Beberapa pengertian pokok dalam adat perkawinan:
1. Suhut , kedua pihak yang punya hajatan
2. Parboru, orang tua pengenten perempuan=Bona ni haushuton
3. Paranak, orang tua pengenten Pria= Suhut Bolon.
4. Suhut Bolahan amak : Suhut yang menjadi tuan rumah dimana acara adat di selenggrakan.
5. Suhut naniambangan, suhut yang datang
6. Hula-hula, saudara laki-laki dari isteri masing-masing suhut
7. Dongan Tubu, semua saudara laki masing-masing suhut ( Tobing dan Batubara).
8. Boru, semua yang isterinya semarga dengan marga kedua suhut ( boru Tobing dan boru Batubara).
9. Dongan sahuta, arti harafiah “teman sekampung” semua yang tinggal dalam huta/kampung komunitas (daerah tertentu) yang sama paradaton/solupnya.
10. Ale-ale, sahabat yang diundang bukan berdasarkan garis persaudaraan (kekerabatan atau silsilah) .
11. Uduran, rombongan masing-masing suhut, maupun rombongan masing-masing hula-hulanya.
12. Raja Parhata (RP), Protokol (PR) atau Juru Bicara (JB) masing-masing suhut, juru bicara yang ditetapkan masing-masng pihak
13. Namargoar, Tanda Makanan Adat , bagian-bagian tubuh hewan yang dipotong yang menandakan makanan adat itu adalah dari satu hewan (lembu/kerbau) yang utuh, yang nantinya dibagikan.
14. Jambar, namargoar yang dibagikan kepada yang berhak, sebagai legitimasi dan fungsi keberadaannya dalan acara adat itu.
15. Dalihan Na Tolu (DNT), terjemahan harafiah”Tungku Nan Tiga” satu sistim kekerabatan dan way of life masyarakat Adat Batak
16. Solup, takaran beras dari bambu yang dipakai sebagai analogi paradaton, yang bermakna dihuta imana acara adat batak diadakan solup/paradaton dari huta itulah yang dipakai sebagai rujukan, atau disebut dengan hukum tradisi “sidapot solup do na ro”.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. cikal bakal Suku Batak berasal dari daerah Toba, Pulau Samosir, Sumatera Utara. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara.
Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Mandailing,Angkola.
B.Saran
Sebagai generasi bangsa kita harus menyadari bahwa Indonesia memiliki bermacam-macam kebudayaan yang menjadi ciri khas setiap suku bangsa yang harus kita jaga dan lestarikan.