BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia semakin hari semakin berkembang, baik itu dari segi budaya maupun tata cara hidup yang di jalani oleh tiap-tiap individu.Perkembangan ini sejalan dengan fitrah manusia yang pasti akan terjadi di sepanjang masa di semua generasi. Perkembangan ini terjadi pada berbagai hal, bahkan terkadang perkembangan ini menjadikan perubahan pada masyarakat baik dari segi pemahaman maupun pengamalan syariat yang telah di gariskan oleh Rasulullah sebagai sebuah amalan yang dianjurkan.
Diantara muamalah yang sering terjadi pergeseran nilai maupun pemahaman dalah mengenai tata cara bagi hasil dalam usaha, praktik hibah, hadiah dan shadaqah dan berbagai masalah yang terjadi akibat dari kurang fahamnya masyarakat terhadap hal tersebut.
Oleh karena itu, penulis akan sedikit membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut supaya kita bisa memahami amalan yang seharusnya kita lakukan sesuai dengan anjuran Rasulullah saw.
BAB II
PEMBAHASAN
I. BAGI HASIL (MUSAQAH)
1. Pengertian
Menurut bahasan, bagi hasil (musaqah) diambil dari kata dasar as saqyu (pengairan). Mernurut syara’, musaqah adalah kerja sama perawatan tanaman seperti menyirami dan lain sebagainya dnegan perjanjian bagi hasil atas buah atau manfaat yang dihasilkan.
Musaqah diberlakukan berdasarkan hadits shahih mealui jalur Ibnu Umar “Nabi pernah bekerja sama dengan penduduk kahibar dengan memperoleh sebagian dari buah atau tanaman yang dihasilkan dari pohon kurma atau tanah” (HR. Al Bukhari da Muslim)
2. Rukun dan Persyaratan Musaqah
a. Rukun Musaqah
Rukun musaqah ada lima macam, yaitu para pihak yang mengadakan akad, objek pekerjaan, buah, tugas pekerjaan, dan shighat.
b. Persyaratan musaqah
- Persyaratan para pihak yang mengadakan akad yaitu mereka harus sudah baligh, berakal sempurna dan cakap
- Persyaratan objek perkerjaan nya adalah hanya untuk menanganni peawatan kebun kurma dan anggur (atau yang sejenisnya). Jika keduanya telah ditanam, hendaknya memperkirakan kapan pohon tetap utuh dan dapat berbuah dan pembagian hasil buah sudah diketahui misalnya sepertiga atau seperempat dari akad qiradh.
- Persyaratan sighat akad adalah harus menyandung pernyataan ijab dan Kabul sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c. Tugas Pekerja dan kewajiban pemilik perkebunan
Menurut pendapat ashah, tugas pekerja ialah bekerja terbaik, konsisten, telaten hingga menciptakan kwalitas buah terbaik, berkembang atau bertambah banyak. Misalnya mengawinkan, menyiram, mengawasi dan memotong buah serta mengeringkannya, membersihkan saluran irigasi, memotong rerumpuutan yang mengganggu dan sejenisnya, serta memperbaiki saluran penampungan air di sekeliling pohon supaya pohon dapat menyerap air. Mengapa pekerjaan rutin setiap tahun menjadi persyaratan dalam musaqah? Sebab, jika rutinitas tahunan terganggu akan berimplikasi pada pasca akad musaqah. Sementara memaksa pekerja agar mengulang rutinitas tertunda semacam itu merupakan tindakan lalim.
Sementara itu, pemilik wajib melakukan setiap pekerjaan yang manfaatnya kembali ke pohon dan hal tersebut tidak dilakukan berulang setiap tahun.
d. Ketentuan Hukum tentang Kewenangan Pekerja dan Sifat Musaqah
Pekerja adalah seseorang yang dianggap amanah terkait kerusakan yang diakuinya, dan dianggap penghianat terkait dengan hal yang dituduhkan kepadanya. Sebab pemilik perkebunan memberikan kepercayaan terhadapnya. Jadi pernyataan yang dapat dibenarkan secara hokum adalah pernyataan pekerja dengan disertai sumpah. Jika penghianatan itu terbukti, pemilik tetap harus merangkul pekerja sambil mengawasinya. Kewenangan pekerja untuk terus bekerja tidak boleh dicabut karena pekerjaan itu menjadi tanggung jawabnya. Pekerja mungkin masih dapat melaksanakan perkerjaannya, sehingga dia wajib melaksanakan pekerjaan tersebut. Terlbih lagi musaqah bersifat mengikat. Salah seorang dari kedua pihak yang mengadakan akad tidak dibenarkan membatalkan musaqah secara sepihak, sama seperti sewa menyewa dalam segi mengikat kedua belah pihak.
e. Ketentuan hokum tentang pekerja atau pemilik perkebunan yang meninggal dunia
Meninggalnya pemilik perkebunan tidak lantas membatalkan akad musaqah. Bahkan musaqah tetap dapat diteruskan. Berbeda halnya bila pekerja meniggal sebelum menuntaskan pekerjaannya. Jika ahli waris mampu menuntaskan pekerjaannya, dia berhak memperoleh bagian dari buah tersebut. Dan jika tidak dapat meneruskan, maka pemilik kebun berhak mengontrak kembali orang yang dapat menggarap kebun tersebut.
f. Sengeketa pekerja dengan pemilik perkebunan
Ketika pekerja dan pemilik perkebunan bersengketa dalam masalah besaran nilai tukar yang telah dijanjikan, lalu pekerja berkata, “kamu telah menjanjikan saya mendapat separuh dari buah yang dihasilkan”, dan –pemilik menjawab “ saya menjanjikan kamu mendapat sepertiganya”, maka mereka sama-sama berhak melakukan sumpah, karena mereka berstatus sebagai para pihak yang mengadakan akad dan berselisih dalam hal nilai tukar yang dijanjikan tanpa disertai saksi. Sehingga mereka sama-sama berhak melakukan sumpah. Sama seperti kedua pihak yang mengadakan akad jual beli ketika mereka berselisih dalam besaran nilai tukar. Dalam situasi demikian, akad menjadi batal atas kerelaan masing-masing atau berdasarkan amat putusan yang dibacakan hakim.
II. HIBAH
1. Pengertian Hibah
Berkenaan dengan pengertian definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya : “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa hidupnya tanpa imbalan apapun ”. Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau lainnya”.
Syaikh Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang diketahui (jelas)”.
Demikian makna hibah secara khusus. Adapun secara umum, maka hibah mencakup hal-hal berikut ini:
1. Al ibra`: ( الإِبْرَاء) yaitu hibah (berupa pembebasan) utang untuk orang yang terlilit utang (sehingga dia terbebas dari utang).
2. Ash shadaqah (الصَّدَقَة) : yaitu pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala akhirat..
3. Al hadiyah ( الهَدِيَّة) : yaitu segala sesuatu yang melazimkan (mengharuskan) si penerimanya untuk menggantinya (membalasnya dengan yang lebih baik).
1. Pengertian
Menurut bahasan, bagi hasil (musaqah) diambil dari kata dasar as saqyu (pengairan). Mernurut syara’, musaqah adalah kerja sama perawatan tanaman seperti menyirami dan lain sebagainya dnegan perjanjian bagi hasil atas buah atau manfaat yang dihasilkan.
Musaqah diberlakukan berdasarkan hadits shahih mealui jalur Ibnu Umar “Nabi pernah bekerja sama dengan penduduk kahibar dengan memperoleh sebagian dari buah atau tanaman yang dihasilkan dari pohon kurma atau tanah” (HR. Al Bukhari da Muslim)
2. Rukun dan Persyaratan Musaqah
a. Rukun Musaqah
Rukun musaqah ada lima macam, yaitu para pihak yang mengadakan akad, objek pekerjaan, buah, tugas pekerjaan, dan shighat.
b. Persyaratan musaqah
- Persyaratan para pihak yang mengadakan akad yaitu mereka harus sudah baligh, berakal sempurna dan cakap
- Persyaratan objek perkerjaan nya adalah hanya untuk menanganni peawatan kebun kurma dan anggur (atau yang sejenisnya). Jika keduanya telah ditanam, hendaknya memperkirakan kapan pohon tetap utuh dan dapat berbuah dan pembagian hasil buah sudah diketahui misalnya sepertiga atau seperempat dari akad qiradh.
- Persyaratan sighat akad adalah harus menyandung pernyataan ijab dan Kabul sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c. Tugas Pekerja dan kewajiban pemilik perkebunan
Menurut pendapat ashah, tugas pekerja ialah bekerja terbaik, konsisten, telaten hingga menciptakan kwalitas buah terbaik, berkembang atau bertambah banyak. Misalnya mengawinkan, menyiram, mengawasi dan memotong buah serta mengeringkannya, membersihkan saluran irigasi, memotong rerumpuutan yang mengganggu dan sejenisnya, serta memperbaiki saluran penampungan air di sekeliling pohon supaya pohon dapat menyerap air. Mengapa pekerjaan rutin setiap tahun menjadi persyaratan dalam musaqah? Sebab, jika rutinitas tahunan terganggu akan berimplikasi pada pasca akad musaqah. Sementara memaksa pekerja agar mengulang rutinitas tertunda semacam itu merupakan tindakan lalim.
Sementara itu, pemilik wajib melakukan setiap pekerjaan yang manfaatnya kembali ke pohon dan hal tersebut tidak dilakukan berulang setiap tahun.
d. Ketentuan Hukum tentang Kewenangan Pekerja dan Sifat Musaqah
Pekerja adalah seseorang yang dianggap amanah terkait kerusakan yang diakuinya, dan dianggap penghianat terkait dengan hal yang dituduhkan kepadanya. Sebab pemilik perkebunan memberikan kepercayaan terhadapnya. Jadi pernyataan yang dapat dibenarkan secara hokum adalah pernyataan pekerja dengan disertai sumpah. Jika penghianatan itu terbukti, pemilik tetap harus merangkul pekerja sambil mengawasinya. Kewenangan pekerja untuk terus bekerja tidak boleh dicabut karena pekerjaan itu menjadi tanggung jawabnya. Pekerja mungkin masih dapat melaksanakan perkerjaannya, sehingga dia wajib melaksanakan pekerjaan tersebut. Terlbih lagi musaqah bersifat mengikat. Salah seorang dari kedua pihak yang mengadakan akad tidak dibenarkan membatalkan musaqah secara sepihak, sama seperti sewa menyewa dalam segi mengikat kedua belah pihak.
e. Ketentuan hokum tentang pekerja atau pemilik perkebunan yang meninggal dunia
Meninggalnya pemilik perkebunan tidak lantas membatalkan akad musaqah. Bahkan musaqah tetap dapat diteruskan. Berbeda halnya bila pekerja meniggal sebelum menuntaskan pekerjaannya. Jika ahli waris mampu menuntaskan pekerjaannya, dia berhak memperoleh bagian dari buah tersebut. Dan jika tidak dapat meneruskan, maka pemilik kebun berhak mengontrak kembali orang yang dapat menggarap kebun tersebut.
f. Sengeketa pekerja dengan pemilik perkebunan
Ketika pekerja dan pemilik perkebunan bersengketa dalam masalah besaran nilai tukar yang telah dijanjikan, lalu pekerja berkata, “kamu telah menjanjikan saya mendapat separuh dari buah yang dihasilkan”, dan –pemilik menjawab “ saya menjanjikan kamu mendapat sepertiganya”, maka mereka sama-sama berhak melakukan sumpah, karena mereka berstatus sebagai para pihak yang mengadakan akad dan berselisih dalam hal nilai tukar yang dijanjikan tanpa disertai saksi. Sehingga mereka sama-sama berhak melakukan sumpah. Sama seperti kedua pihak yang mengadakan akad jual beli ketika mereka berselisih dalam besaran nilai tukar. Dalam situasi demikian, akad menjadi batal atas kerelaan masing-masing atau berdasarkan amat putusan yang dibacakan hakim.
II. HIBAH
1. Pengertian Hibah
Berkenaan dengan pengertian definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya : “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa hidupnya tanpa imbalan apapun ”. Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau lainnya”.
Syaikh Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang diketahui (jelas)”.
Demikian makna hibah secara khusus. Adapun secara umum, maka hibah mencakup hal-hal berikut ini:
1. Al ibra`: ( الإِبْرَاء) yaitu hibah (berupa pembebasan) utang untuk orang yang terlilit utang (sehingga dia terbebas dari utang).
2. Ash shadaqah (الصَّدَقَة) : yaitu pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala akhirat..
3. Al hadiyah ( الهَدِيَّة) : yaitu segala sesuatu yang melazimkan (mengharuskan) si penerimanya untuk menggantinya (membalasnya dengan yang lebih baik).
2. Rukun hibah
Hibah itu sah melalui ijab dan Kabul, bagaimanapun bentuk ijab Kabul yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan. Misalnya penghibah berkata : aku hibahkan kepadamu; aku hadiahkan kepadamu; aku berikan kepadamu; atau yang serupa itu; sedang yang menerima berkata : Ya, aku terima. Malik bin Asy Syafi’I berpendapat, dipegangnya wabul di dalam hiah. Orang-orang hanafi berpendapat bahwa ijab saja sudah cukup, dan itulah paling sahih. Sedang orang-orang hambali berpendapat : Hibah itu sah dengan pemberian yang menunjukkan kepadanya, karena Nabi saw diberi dan memberikan hadiah. Begitu pula dilakukan oleh para sahabat. Serta tidak dinukil dari mereka bahwa mereka mensyaratkan ijab kabu, dan yang serupa itu.
3. Syarat Hibah
Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberikan hibah dan sesuatu yang dihibahkan.
Syarat-syarat penghibah :
a. Penghibah memiliki apa yang dihibahkan
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alas an
c. Penghibah itu roang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
d. Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mensyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah :
Syarat bagi orang yang diberi hibah adalah orang yang diberi hibah benar-benar ada di waktu pemebrian hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka tidak sah hibahnya.
Apabila orang yang diberi hibah itu ada di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharanya, atau orang yang mendidiknya, sekalipun dia orang asing.
Syarat bagi yang dihibahkan :
a. Barang/ sesuatu yang dihibahkan benar adnaya
b. Harta yang bernilai
c. Dapat dimiliki zatnya, yaitu bahwa yang dihibahkan itu adlaah apa yang biasanya dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat perpindah tangan. Maka tidak sah menghiabahkan air di sungai, ikan di laut, burng di udara, masjid-masjid atau pesantren.
d. Tidak berhubungan dnegan tempat milikik penghibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon atau bangunan tanpa tanahnya. Akan tetapi yang dihibahkan itu wajib dipisahkan dan diserahkan kepada yang diberi hibah sehingga menjadi milik baginya.
e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukan seeprti halnya jaminan. Malik, Asy Syafi’I, Ahmad dan Abu Tsaur berepndapat tidak disyaratkannya syarat ini. Mereka berkata : sesungguhnya hibah untuk umum yang tidak dibagi-bagi itu sah. Bagi golongan Maliki, boleh menghibahkan apa yang tidak sah dijual seperti unta liar, buah sebelum Nampak hasilnya, dan barang hasil ghasab.
4. Hibah dari orang sakit yang penyakitnya mematikan
Bila seseorang menderita sakit yang menyebabkan kematian, sedang dia menghibahkan kepada orang lain, mka hokum hibahnya itu seperti wasiatnya.
5. Hibah itu dipegang di Tangan
Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa hibah itu menjadi hak orang yang diberi hibah hanya dengan semata-mata akad tanpa syarat harus dipegang di tangan sama sekali, sebab yang pokok dalam amsalah ini adalah bahwa perjannjian itu sah tanpa syarat harus dipegang di tangan, seperti hal nya jual beli sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya.
6. Menghibahkan semua harta
Menurut mazhab jumhur ulama, orang boleh menghibahkan semua harta yang dimilikinya kepada orang lain.
Berkata Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahqiq mazhab Hanafi : tidak sah menghibahkan semua harta meskipun di dalam kebaikan. Mereka menganggap orang yang ebrbuat dmeikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya.
7. Batasan Hadiah
Disunatkan membalas hadiah, sekalipun hadiah itu orang yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
Berkata Al Kaththabi :
Diantara ulama ada yang menjadikan urusan manusia dalam hal hadiah kedalam tiga tingkatan :
1. Pemberian seseorang kepada orang yang leih rendah dari dirinya, seperti kepada pembantu dan yang serupa dengan itu. Karena menghormati dan mengasihinya. Pemberian yang demikian itu tidak menghendaki balasan.
2. Pemberian orang kecil kepada orang besar untuk mendapatkan kebutuhan atau manfaat. Pemberian yang demikian itu wjaib dibalas.
3. Pemberian dari seseorang kepada orang lain yang detingkat dengannnya. Pemberian ini mengandung makna kecintaan dan pendekatan. Dikatakan pula bahwa pemberian yang demikian wajib dibalas.
8. Diharamkan melebihkan pemberian dan kebaikan kepada sebagian dari anak-anak
Tidak dihalalkan bagi seseorang pun untuk melebihkan sebagian anak-anaknya dalam pemberian di atas anak-anaknya yang lain, akrena yang dmeikian akan menanamkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturahim yang diperintahkan Allah untuk menyambungnya.
Orang-orang Hanafi, Asy Syafi’i, AMaliki dan jumhur ulama berpendapat bahwa mempersmakan diantara anak-anak itu sunnat, dan pelebihan diantara mereka itu makruh akan tetapi dapat dijalankan.
9. Rujuk di dalam Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa rujuk di dalam hibah itu haram, sekalipun itu terjadi diantara saudara atau suami-istri, ekcuali bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya maka rujuknya diperbolehkan karena apa yang diriwayatkan oleh pemilik sunan, dari ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa nabi saw bersabda : “Tidak halal bagi seorang laki-laki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, ekmudian ia mengambil kembali pemberiannya, ekcuali bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemduain dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelan anjing itu kenyang ia muntah, kemudian memakan muntahannya kembali”
10. Hadiah dan hibah yang tidak boleh ditolak
Hadis dari Ibnu Umar, dia berkata : telah bersabda Rasulullah : “tiga pemberian tidak ditolak : bantal, minyak wangi dan susu”
11. Pujian dan doa bagi orang yang memberi hadiah
Hadis dari Abu Hurairah, dia berkata : telah bersabda rasulullah saw : “Barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia berarti dia pun tidak bersyukur pula pada Allah.”
III. SHADAQAH
a. Pengertian Shadaqoh
Sebelum membahas Shadaqoh lebih lanjut, maka alangkah baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu arti shadaqoh, baik menurut Etimologi (bahasa) maupun menurut Terminologi (istilah).
Menurut etimologi shadaqah adalah “memberi sesuatu “ , atau “derma kepada orang miskin dan sebagainya berdasarkan cinta kasih kepada sesama manusia”.
Sedangkan shadaqoh menurut Terminologi sebagaimana diungkapkan oleh beberapa ulama fiqh, diantaranya adalah sebagai berikut:
Menurut Muhammad an-Nawawi hibah mempunyai tiga pengertian, yaitu hibah sendiri, shadaqoh dan hadiah. Hibah dan hadiah adalah memberikan sesuatu zat dengan tidak ada tukarannya dan tidak ada karenanya, sedangkan shadaqoh adalah memberikan zat dengan tidak ada tukarannya, karena mengharapkan pahala di akhirat. Menurut Sayid Sabiq hibah itu mempunyai dua arti, yaitu hibah secara husus dan hibah secara umum. Hibah secara umum mempunyai tiga pengertian: pengertian ibra’, pengertian shadaqoh dan pengertian hadiah. Ibra’ artinya menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dimiliki. Shadaqoh artinya menyerahkan sesuatu zat dengan harapan balasan di akhirat. Sedangkan hadiah artinya menyerahkan sesuatu tanpa mengharapkan balasan apapun, tetapi hanya kerena prestasi . Sedangkan menurut Muhammad Syatha al-Dimyathy bahwa hibah mengandung pengertian shadaqoh dan hadiah. Hibah adalah menyerahkan sesuatu zat sah untuk di jual ataupun pembayaran hutang tanpa mengharapkan apapun. Sedangkan shadaqah adalah menyerahkan sesuatu zat kepada orang lain tanpa ada tujuan apapun kecuali mengharapkan ridha Allah. Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan shadaqoh adalah bukan saja memberikan suatu zat (benda) kepada orang lain dengan tujuan karena Allah, tetapi bisa juga suatu jasa. Sebagaimana hadits Rasul Saw yang diriwayatkan dari Abu Ayub yang artinya “ akan kutunjuki kepada kalian tentang sebaikbaik shadaqoh dari pada memberikan suatu benda, adalah bershadaqoh dengan mendamaikan kedua kelompok yang sedang bertikai, mempersatukan kedua kelompok yang sedang berpecah belah”. Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Rasulullah bersanda yang artinya “sebaik-sebaik shadaqoh adalah mendamaikan kedua kelompok yang sedang bertikai” .Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa shadaqoh merupakan bagian dari hibah, yaitu sama-sama menyerahkan sesuatu barang/zat untuk dipergunakan atau dimiliki oleh orang lain. Perbedaannya kalau hibah menyerahkan sesuatu zat tanpa mengharapkan sesuatu apapun, sedangkan shadaqoh memberikan sesuatu zat karena mengharapkan pahala diakhirat nanti, atau mengharapkan ridho Allah. Kesimpulan lain adalah bahwa Shadaqoh bisa berupa zat (benda) yang berwujud (materi) bisa juga juga berupa jasa (non materi).
b. Perbedaan Shadaqah dan hadiah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang perbedaan antara shadaqah dan hadiyah, dan mana yang lebih utama dari keduanya, beliau rahimahullah menjawab: “Alhamdulillah, ash shadaqah adalah segala sesuatu yang diberikan untuk mengharap wajah Allah sebagai ibadah yang murni, tanpa ada maksud (dari pelakunya) untuk (memberi) orang tertentu, dan tanpa meminta imbalan (dari orang yang diberi tersebut). Akan tetapi, (pemberian tersebut) diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan hadiyah, maka pemberian ini dimaksudkan sebagai wujud penghormatan terhadap individu tertentu, baik hal itu sebagai (manifestasi dari) rasa cinta, persahabatan ataupun meminta bantuan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima hadiah, dan berterimakasih atasnya (dengan memberinya hadiah kembali), sehingga tidak ada orang yang meminta atau mengharapkan kembali darinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah memakan kotoran-kotoran (zakat atau shadaqah) orang lain yang mereka bersuci dengannya dari dosa-dosa mereka, yaitu shadaqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memakan shadaqah karena alasan ini ataupun karena alasan-alasan lainnya . Maka (dengan demikian) telah jelaslah perkaranya, bahwa shadaqah lebih utama. Kecuali jika hadiyah memiliki makna tersendiri, sehingga membuatnya lebih utama dari shadaqah, seperti memberi hadiah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di masa hidupnya sebagai tanda cinta kepadanya, atau memberi hadiah kepada kerabat, yang dengannya terjalinlah hubungan lebih erat antara kerabat, atau juga memberi hadiah kepada saudara seiman, maka hal-hal seperti ini bisa membuat hadiyah lebih utama (dari shadaqah)”.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata: “Kesimpulannya, hibah, shadaqah, hadiyah, dan ‘athiyah memiliki makna yang saling berdekatan. Makna ketiga istilah ini adalah penyerahan kepemilikan (seseorang kepada orang lain) pada waktu hidupnya tanpa imbalan balik apapun. Dan penyebutan ‘athiyah (pemberian) mencakup seluruhnya, demikian pula hibah. Sedangkan shadaqah dan hadiyah berbeda, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memakan hadiyah dan tidak pernah memakan shadaqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata ketika Barirah diberi daging shadaqah:
هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ.
"Daging itu baginya adalah shadaqah dan bagi kami hadiyah".
Maka zhahirnya, orang yang memberi sesuatu kepada orang yang membutuhkan dengan berniat taqarrub kepada Allah adalah shadaqah. Sedangkan orang yang memberi sesuatu dengan tujuan untuk (melakukan) pendekatan kepadanya, dan dalam rangka mencintainya, maka itu adalah hadiyah. Dan seluruh (amalan-amalan) ini hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan (untuk dilakukan), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا.
"Saling memberi hadiahlah sesama kalian, niscaya kalian saling mencintai".
Adapun shadaqah, maka keutamaannya jauh lebih banyak, di luar batas kemampuan kami untuk menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 271, yang artinya : Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu”.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
I. KESIMPULAN
Bagi hasil dalam Islam disebut dengan Musaqah, yaitu didalamnya ada pemilik perkebunan, kebun yang digarap, penggarap atau pengelola dan juga ada akad di dalamnya. Musaqah bisa dilakukan dalam hal apapun selagi itu adalah sesuatu yang baik dan halal, namun yang dibahas di atas adalah pengenai perkebunan atau pengelolaan tanah untuk pertanian, sebab hal tersebut sering dilakukan oleh masyarakat sejak zaman dahulu.
Mengenai hibah, hadiah dan shadaqah, ketiganya memiliki makna yang saling berdekatan. Makna ketiga istilah ini adalah penyerahan kepemilikan seseorang kepada orang lain pada waktu hidup tanpa mengharap imbalan apapun. Namun dalam masalah hadiah dan shadaqah cukup berbeda, karena Rasulullah dapat menerima hadiah dan tidak menerima shadaqah, karena shadaqah adalah sebagai sebuah sarana untuk mengurangi atau menebus sebuah dosa yang pernah dilakukan oleh orang yang bersedekah.
II. SARAN
Dari berbagai hal yang telah dipaparkan diatas, kita telah mengetahui muamalah yang bersangkutan, maka sepatutnya kita melakukan apa yang bisa kita lakukan terhadap anjuran tersebut.
Sedangkan shadaqoh menurut Terminologi sebagaimana diungkapkan oleh beberapa ulama fiqh, diantaranya adalah sebagai berikut:
Menurut Muhammad an-Nawawi hibah mempunyai tiga pengertian, yaitu hibah sendiri, shadaqoh dan hadiah. Hibah dan hadiah adalah memberikan sesuatu zat dengan tidak ada tukarannya dan tidak ada karenanya, sedangkan shadaqoh adalah memberikan zat dengan tidak ada tukarannya, karena mengharapkan pahala di akhirat. Menurut Sayid Sabiq hibah itu mempunyai dua arti, yaitu hibah secara husus dan hibah secara umum. Hibah secara umum mempunyai tiga pengertian: pengertian ibra’, pengertian shadaqoh dan pengertian hadiah. Ibra’ artinya menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dimiliki. Shadaqoh artinya menyerahkan sesuatu zat dengan harapan balasan di akhirat. Sedangkan hadiah artinya menyerahkan sesuatu tanpa mengharapkan balasan apapun, tetapi hanya kerena prestasi . Sedangkan menurut Muhammad Syatha al-Dimyathy bahwa hibah mengandung pengertian shadaqoh dan hadiah. Hibah adalah menyerahkan sesuatu zat sah untuk di jual ataupun pembayaran hutang tanpa mengharapkan apapun. Sedangkan shadaqah adalah menyerahkan sesuatu zat kepada orang lain tanpa ada tujuan apapun kecuali mengharapkan ridha Allah. Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan shadaqoh adalah bukan saja memberikan suatu zat (benda) kepada orang lain dengan tujuan karena Allah, tetapi bisa juga suatu jasa. Sebagaimana hadits Rasul Saw yang diriwayatkan dari Abu Ayub yang artinya “ akan kutunjuki kepada kalian tentang sebaikbaik shadaqoh dari pada memberikan suatu benda, adalah bershadaqoh dengan mendamaikan kedua kelompok yang sedang bertikai, mempersatukan kedua kelompok yang sedang berpecah belah”. Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Rasulullah bersanda yang artinya “sebaik-sebaik shadaqoh adalah mendamaikan kedua kelompok yang sedang bertikai” .Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa shadaqoh merupakan bagian dari hibah, yaitu sama-sama menyerahkan sesuatu barang/zat untuk dipergunakan atau dimiliki oleh orang lain. Perbedaannya kalau hibah menyerahkan sesuatu zat tanpa mengharapkan sesuatu apapun, sedangkan shadaqoh memberikan sesuatu zat karena mengharapkan pahala diakhirat nanti, atau mengharapkan ridho Allah. Kesimpulan lain adalah bahwa Shadaqoh bisa berupa zat (benda) yang berwujud (materi) bisa juga juga berupa jasa (non materi).
b. Perbedaan Shadaqah dan hadiah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang perbedaan antara shadaqah dan hadiyah, dan mana yang lebih utama dari keduanya, beliau rahimahullah menjawab: “Alhamdulillah, ash shadaqah adalah segala sesuatu yang diberikan untuk mengharap wajah Allah sebagai ibadah yang murni, tanpa ada maksud (dari pelakunya) untuk (memberi) orang tertentu, dan tanpa meminta imbalan (dari orang yang diberi tersebut). Akan tetapi, (pemberian tersebut) diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan hadiyah, maka pemberian ini dimaksudkan sebagai wujud penghormatan terhadap individu tertentu, baik hal itu sebagai (manifestasi dari) rasa cinta, persahabatan ataupun meminta bantuan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima hadiah, dan berterimakasih atasnya (dengan memberinya hadiah kembali), sehingga tidak ada orang yang meminta atau mengharapkan kembali darinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah memakan kotoran-kotoran (zakat atau shadaqah) orang lain yang mereka bersuci dengannya dari dosa-dosa mereka, yaitu shadaqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memakan shadaqah karena alasan ini ataupun karena alasan-alasan lainnya . Maka (dengan demikian) telah jelaslah perkaranya, bahwa shadaqah lebih utama. Kecuali jika hadiyah memiliki makna tersendiri, sehingga membuatnya lebih utama dari shadaqah, seperti memberi hadiah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di masa hidupnya sebagai tanda cinta kepadanya, atau memberi hadiah kepada kerabat, yang dengannya terjalinlah hubungan lebih erat antara kerabat, atau juga memberi hadiah kepada saudara seiman, maka hal-hal seperti ini bisa membuat hadiyah lebih utama (dari shadaqah)”.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata: “Kesimpulannya, hibah, shadaqah, hadiyah, dan ‘athiyah memiliki makna yang saling berdekatan. Makna ketiga istilah ini adalah penyerahan kepemilikan (seseorang kepada orang lain) pada waktu hidupnya tanpa imbalan balik apapun. Dan penyebutan ‘athiyah (pemberian) mencakup seluruhnya, demikian pula hibah. Sedangkan shadaqah dan hadiyah berbeda, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memakan hadiyah dan tidak pernah memakan shadaqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata ketika Barirah diberi daging shadaqah:
هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ.
"Daging itu baginya adalah shadaqah dan bagi kami hadiyah".
Maka zhahirnya, orang yang memberi sesuatu kepada orang yang membutuhkan dengan berniat taqarrub kepada Allah adalah shadaqah. Sedangkan orang yang memberi sesuatu dengan tujuan untuk (melakukan) pendekatan kepadanya, dan dalam rangka mencintainya, maka itu adalah hadiyah. Dan seluruh (amalan-amalan) ini hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan (untuk dilakukan), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا.
"Saling memberi hadiahlah sesama kalian, niscaya kalian saling mencintai".
Adapun shadaqah, maka keutamaannya jauh lebih banyak, di luar batas kemampuan kami untuk menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 271, yang artinya : Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu”.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
I. KESIMPULAN
Bagi hasil dalam Islam disebut dengan Musaqah, yaitu didalamnya ada pemilik perkebunan, kebun yang digarap, penggarap atau pengelola dan juga ada akad di dalamnya. Musaqah bisa dilakukan dalam hal apapun selagi itu adalah sesuatu yang baik dan halal, namun yang dibahas di atas adalah pengenai perkebunan atau pengelolaan tanah untuk pertanian, sebab hal tersebut sering dilakukan oleh masyarakat sejak zaman dahulu.
Mengenai hibah, hadiah dan shadaqah, ketiganya memiliki makna yang saling berdekatan. Makna ketiga istilah ini adalah penyerahan kepemilikan seseorang kepada orang lain pada waktu hidup tanpa mengharap imbalan apapun. Namun dalam masalah hadiah dan shadaqah cukup berbeda, karena Rasulullah dapat menerima hadiah dan tidak menerima shadaqah, karena shadaqah adalah sebagai sebuah sarana untuk mengurangi atau menebus sebuah dosa yang pernah dilakukan oleh orang yang bersedekah.
II. SARAN
Dari berbagai hal yang telah dipaparkan diatas, kita telah mengetahui muamalah yang bersangkutan, maka sepatutnya kita melakukan apa yang bisa kita lakukan terhadap anjuran tersebut.