PERADILAN
AGAMA SEBAGAI INSTITUSI PENEGAK
HUKUM
ISLAM DI INDONESIA
Oleh
Marzuki
Abstrak
Peradilan
Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia di samping
tiga peradilan yang lain, yakni Peradilan Negeri, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia
sudah dimulai sejak Indonesia belum merdeka, yaitu sejak
masa
pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam
perjalanan sejarahnya, Peradilan Agama menempuh proses yang cukup panjang hingga
dimantapkannya kedudukan Peradilan Agama oleh pemerintah Indonesia,
yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (UUPA). Dengan UUPA ini maka kedudukan Peradilan
Agama sama dan setingkat dengan tiga peradilan lainnya dalam lingkup peradilan
nasional. Peradilan Agama memiliki wewenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara umat Islam dalam bidang perkawinan,
kewarisan, dan perwakafan.
Dengan
kedudukan dan wewenang Peradilan Agama seperti di atas, Peradilan Agama dapat
dikatakan sebagai salah satu institusi penegak hokum di Indonesia khususnya
dalam bidang hukum Islam. Namun, harus diakui bahwa jangkauan
Peradilan Agama masih sangat terbatas. Peradilan Agama baru menangani
perkara-perkara umat Islam dalam ketiga hukum keperdataan seperti di atas, belum
menjangkau bidang hukum yang lain, seperti hukum
pidana
dan hukum-hukum lainnya.
Pendahuluan
Peradilan
Agama merupakan proses pemberian keadilan berdasarkan hokum Islam kepada
orang-orang Islam yang di lakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama. Keberadaan Peradilan Agama, dalam sistem peradilan nasional Indonesia,
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Di samping
Peradilan Agama, di Indonesia juga dikenal tiga lembaga peradilan lain yang
mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dengan
kekuasaan
yang berbeda, yaitu Peradilan Umum (Peradilan Negeri), Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
Usaha Negara (Ali, 1996: 251).
Peradilan
Agama telah tumbuh dan melembaga di bumi nusantara sejak agama Islam dianut oleh
penduduk yang berada di wilayah ini, berabad-abad sebelum kehadiran penjajah.
Keberadaan Peradilan Agama pada waktu itu belum mempunyai landasan hukum secara
formal. Peradilan Agama ini muncul bersamaan dengan adanya kebutuhan dan
kesadaran hukum umat Islam Indonesia (Munawir Sjadzali, 1991: 42).
Pengakuan
akan adanya Peradilan Agama secara resmi sangatlah berarti bagi tumbuhnya salah satu
institusi penegak keadilan di nusantara ini, meskipun dalam prakteknya pelaksanaan
lembaga peradilan ini selalu disetir oleh pemerintah colonial Belanda. Oleh karena
itu, keberadaan Peradilan Agama seperti itu belum menjamin terlaksananya lembaga
peradilan yang didasarkan pada nilai-nilai keislaman. Berbagai usaha telah dilakukan
oleh umat Islam dalam rangka mewujudkan lembaga Peradilan Agama yang diimpikan.
Usaha ini ternyata memakan waktu yang cukup lama. Setelah melalui berbagai
tahapan, baru pada tahun 1989 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 7
tahun 1989 yang khusus mengatur Peradilan Agama. Dengan keluarnya undang-undang
ini maka keberadaan Peradilan Agama mempunyai
landasan
hukum yang formal (landasan yuridis formal) dan diakui sejajar dengan badan-badan peradilan
lainnya yang sama-sama melaksanakan fungsi kehakiman di Indonesia.
Tulisan
ini bermaksud memaparkan eksistensi lembaga Peradilan Agama di Indonesia yang
merupakan salah satu lembaga penegak hukum Islam baik dalam bentuk syariah maupun
fikih. Sebelum menguraikan masalah tersebut ada baiknya diungkap terlebih dahulu
sejarah singkat Peradilan
Agama di Indonesia.
Peradilan
Agama dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim (lembaga penyelesaian sengketa
antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama), telah lama ada
dalam masyarakat Indonesia, yakni sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Lembaga tahkim
ini berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Muslim di
kepulauan nusantara. Keberadaan Peradilan Agama baru diakui secara resmi oleh
pemerintah Belanda pada tahun 1882,
yaitu ketika diresmikannya Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura berdasarkan Stbl. 1882 No. 152 (Amrullah Ahmad, 1996: 4).
Dengan
keberadaan lembaga semisal Peradilan Agama tersebut pemerintah Belanda merasa bahwa
hukum Islam benar-benar telah diberlakukan oleh umat Islam di Indonesia. Karena
itulah, pemerintah Belanda berusaha untuk menghalangi berlakunya hukum Islam
lebih luas lagi. Atas nasehat C. Snouck Hurgronje pemerintah Belanda
memberlakukan teori receptie yang memberlakukan hokum Islam apabila sudah
diterima oleh hukum adat (Mohammad Daud Ali, 1996: 218).
Teori
receptie ini diberlakukan dalam rangka menentang berlakunya teori receptio
in complexu
yang dikemukakan oleh LWC van den Berg
yang mengakui berlakunya hukum
Islam di Indonesia sejak umat Islam ada di situ. Dengan diberlakukannya
teori receptie pemerintah Belanda mulai mengganti undang-undang yang
diberlakukan di Indonesia. Tahun 1919, misalnya, pemerintah Belanda mengganti
undang-undang dari Regeeringsreglement (RR) menjadi Indische Staatsregeling (IS).
Tahun 1937 keluar Stbl. 1937 No. 116 yang membatasi wewenang Peradilan
Agama hanya pada masalah perkawinan. Sedangkan masalah waris diserahkan kepada
Pengadilan Umum (Sjadzali, 1991: 46).
Perubahan
tatanan peradilan nasional, khususnya Peradilan Agama, mulai berubah setelah
Indonesia merdeka. Perubahan ini bertitik tolak pada ketentuan konstitusi di samping
memperhatikan perkembangan aspirasi dan tatanan masyarakat secara luas. Dasar yang
dijadikan rujukan dalam perubahan itu adalah padal 24 dan 25 UUD 1945. Sedangkan
perkembangan aspirasi masyarakat tercermin dalam artikulasi politik dari berbagai
kekuatan politik melalui infra struktur dan supra struktur politik dalam mewujudkan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pembinaan
Peradilan Agama yang semula berada di tangan Kementrian Kehakiman diserahkan
kepada Departemen Agama melalui PP No. 5/SD/1946. Tahun 1948 keluar
Undang-undang No. 19 yang memasukkan Peradilan Agama ke Peradilan Umum (Peradilan
Negeri). Namun, undang-undang ini tidak pernah berlaku, karena tidak sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Tahun 1951 pemerintah memberlakukan
Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang tetap mempertahankan
eksistensi Peradilan Agama dan menghapus Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Sebagai
kelanjutannya pemerintah memberlakukan Undang-undang No, 45 Tahun 1957 yang
mengatur pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan
Kalimantan
Selatan.
Selanjutnya
tahun 1964 keluar Undang-undang No. 19 tentang Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Tahun 1979 Undang-undang No. 19/1964 tersebut diganti dengan
Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Undang-undang ini mengakui eksistensi Peradilan Agama sejajar dengan
ketiga lembaga peradilan lainnya di Indonesia.
Tanggal
29 Desember 1989 terjadi peristiwa penting yang berkenaan dengan berlakunya sebagian
hukum Islam dan penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia. Peristiwa itu adalah
pengesahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang ini merupakan salah satu peraturan perundangundangan untuk melaksanakan
ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam upaya mewujudkan suatu
tatanan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ini berangkai dengan Undang-undang Nomor 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 bab yang meliputi 108 pasal. Ketujuh bab
tersebut berisi Ketentuan Umum (Bab I), Susunan Pengadilan (Bab II), Kekuasaan
Pengadilan (Bab III), Hukum Acara (Bab IV), Ketentuanketentuan Lain (Bab V), Ketentuan
Peralihan (Bab VI), dan Ketentuan Penutup (Bab VII). Undang-undang
ini, sebagai pengganti undang-undang sebelumnya, memuat beberapa perubahan
penting dalam penyelenggaraan Peradilan Islam di Indonesia, Perubahan-perubahan
tersebut di antaranya berkenaan dengan (1) dasar hukum
penyelenggaraan
peradilan; (2) kedudukan badan Peradilan; (3) susunan pengadilan; (4) kedudukan,
pengangkatan, dan pemberhentian hakim; (5) kekuasaan pengadilan; (6) hukum acara
peradilan; (7) penyelenggaraan administrasi peradilan; dan (8) perlindungan terhadap
wanita (Cik Hasan Bisri, 1997: 126).
Wewenang
Pengadilan Agama ditegaskan dalam pasal 49 ayat (1) Undangundang Nomor 7 Tahun 1989:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah”. Dengan demikian, jelaslah
bahwa wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
permasalahan kaum Muslim dalam bidang-bidang tertentu, yakni bidang perkawinan dan
berbagai hal yang terkait dengannya, bidang kewarisan dan berbagai hal yang
terkait dengannya, serta bidang perwakafan dan berbagai hal yang terkait dengannya.
Ketiga bidang tersebut diperjelas dengan keluarnya Instruksi Presiden tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang terdiri dari tiga buku, yaitu: Buku
I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang
Perwakafan.. Menurut ketentuan pasal 49 juga dijelaskan bahwa wewenang Pengadilan
Agama hanya mengadili perkara-perkara tersebut di tingkat pertama. Adapun pada
tingkat banding (yang lebih tinggi) yang menanganinya adalah Pengadilan Tinggi Agama
(pasal 51).
Dalam
sejarahnya, wewenang Pengadilan Agama ini tidak begitu saja langsung menangani
perkara-perakara seperti di atas, akan tetapi melalui proses yang cukup panjang, yaitu mulai
tahun 1882 sejak masih berbentuk Priesterrad (Majelis atau Pengadilan Pendeta)
yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Perkara perkara yang ditangani
ditentukan oleh Pengadilan Agama sendiri, yaitu perkara perkara yang berkaitan dengan
perwalian, kewarisan, hibah, shadaqah, baitulmal, dan wakaf (Sajuti Thalib,
1980: 25). Jadi, wewenang Pengadilan Agama sudah meliputi ketiga perkara yang
disebut dalam Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang.
Pada
tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk suatu komisi yang bertugas meninjau kembali
kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama. Komisi yang pada hakekatnya dikuasai
penuh oleh Betrand ter Haar ini berhasil melaksanakan tugasnya dan memberi rekomendasi
kepada gubernur jenderal Hindia Belanda untuk meninjau kembali wewenang
Pengadilan Agama. Tujuan Pokok dari saran komisi tersebut adalah menyangkut
wewenang Pengadilan Agama, yakni pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk
mengadili masalah wakaf dan masalah kewarisan.
Pencabutan
ini, menurut para pemimpin Islam, merupakan langkah mundur ke zaman Jahiliyah dan dipandang
menentang sendi-sendi iman orang Islam (Mohammad Daud Ali, 1989: 223).
Pada
tahun 1937 keluar Stbl. 1937 No. 116. Dengan Stbl. ini wewenang Pengadilan Agama untuk
mengadili masalah kewarisan dialihkan kepada Pengadilan Negeri. Dengan demikian,
wewenang Pengadilan Agama hanya mengurusi masalah perkawinan. Sementara
itu di Kalimantan Selatan didirikan Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar
dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639 yang wewenangnya persis seperti Pengadilan
Negeri.
Setelah
Indonesia merdeka, langkah yang diambil pemerintah Indonesia ialah menyerahkan pembinaan
Peradilan Agama dari Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama
melalui PP. 5/SD/1946. Tahun 1948 keluar Undang-undang No. 190 yang memasukkan
Peradilan Agama ke dalam Peradilan Umum, meskipun hal ini tidak pernah berjalan.
Tahun 1957 pemerintah mengatur pemberntukan Peradilan Agama di luar Jawa
Madura dan Kalimantan Selatan melalui PP. No. 45 Tahun 1957.
Wewenang
Peradilan Agama di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan meliputi perkara-perkara (1)
nikah, (2) talak, (3) rujuk, (4) fasakh, (5) nafkah, (6) mas kawin, (7) tempat kediaman,
(8) mut’ah, (9) hadlanah, (10) perkara waris, (11) wakaf, (12) hibah, (13) sedekah,
dan (14) baitulmal (Amrullah ahmad, 1996:
6).
Pada
perkembangan selanjutnya, tahun 1958 pemerintah membentuk Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama di berbagai tempat yang memerlukan. Tahun 1964
pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun 1964 tentang Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang disusul keluarnya Undang-undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan
undang-undang ini kedudukan Peradilan Agama setingkat dengan peradilan-peradilan
lainnya. Pada akhirnya, dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Peradilan
Agama benar-benar memiliki legitimasi yang kuat dan benarbenar sama dan setingkat
dengan tiga peradilan lainnya yang ada dalam lingkup peradilan di Indonesia.
Yang
perlu dicatat di sini adalah bahwa wewenang Peradilan Agama baru terbatas pada perkara-perkara
perdata dan hanya menyangkut perkara-perkara umat Islam. Jadi, Peradilan
Agama belum menjangkau perkara-perkara lain di luar perdata, seperti pidana, dan
juga belum melibatkan penganut selain Islam dalam berperkara.
Peradilan
Agama sebagai Institusi Penegak Hukum Islam
Di
atas sudah dijelaskan bahwa Peradilan Agama memiliki wewenang untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Ketiga
masalah ini merupakan bagian dari objek garapan fikih muamalah, dan secara
integral merupakan bagian dari ruang lingkup hukum Islam, baik yang berdimensi
syariah maupun yang berdimensi fikih.
Syariat
Islam yang diperjelas dengan fikih sudah mengatur permasalahan hukum yang cukup
detail. Aturan-aturan ini dijadikan sebagai pegangan oleh umat Islam di dalam
menyelesaikan problematika yang muncul berhubungan dengan masalah hukum. Namun,
karena muncul perbedaan pendapat dari para ulama mengenai kepastian
aturan tersebut, maka seringkali problematika yang muncul tidak bisa diselesaikan
dengan tuntas. Munculnya
hukum modern menuntut untuk diwujudkan sumber atau landasan hukum yang formal di
setiap negera sebagai rujukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang
muncul. Begitu juga, hukum Islam yang sudah ada dalam bentuk syariat maupun fikih
masih dituntut untuk diformulasikan dalam bentuk kodifikasi hukum atau
undang-undang agar mempunyai kekuatan hukum yang bisa mengikat setiap orang yang
berkaitan dengan hukum. Karena itu, di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam bermunculan undangundang untuk mengatur
permasalahan hukum di negaranya masing-masing.
Hal seperti ini juga
terjadi di negara kita Indonesia. Kalau dilihat pelaksanaan hukum Islam di Indonesia,
dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam dapat dibagi
menjadi dua, yaitu hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis dan hukum
Islam yang berlaku secara normatif (Mohammad Daud ali, 1991: 75). Hukum
Islam yang berlaku secara formal yuridis
adalah hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan mengatur hubungan
manusia dengan benda di dalam masyarakat yang disebut dengan istilah mu’amalah.
Hukum Islam ini menjadi hukum positif karena ditunjuk oleh peraturan
perundang-undangan. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis ini memerlukan bantuan
penyelenggara negara untuk menjalankannya secara sempurna dengan cara
misalnya mendirikan Peradilan Agama yang menjadi salah satu unsur dalam sistem
peradilan nasional. Adapun hukum Islam yang berlaku secara normatif adalah hukum
Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan.
Pelaksanaannya
bergantung kepada kuat-lemahnya kesadaran masyarakat Muslim dalam berpegang kepada
hukum Islam yang bersifat normatif ini. Hukum Islam seperti ini tidak
memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya. Hampir semua hukum
Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dalam arti ibadah murni
(‘ibadah mahdlah), termasuk dalam kategori hukum Islam ini, seperti shalat,
zakat, puasa, dan haji. Pelaksanaan hukum Islam yang normatif in tergantung kepada
tingkatan iman dan takwa serta akhlak umat Islam sendiri.
Untuk
menegakkan hukum Islam yang bersifat formal yuridis, pemerintah Indonesia telah membuat
peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang No. 5 Tahun 1946, PP. No,
45Tahun 1957, Undang-undang No. 19 Tahun 1964, Undangundang No. 14 Tahun 1970,
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Undang-undang No. 7 Tahun 1989.
Dengan undang-undang seperti ini diharapkan permasalahan yang berkaitan dengan hukum
Islam, khususnya masalah keperdataan, dapat diselesaikan secara formal yuridis.
Dari beberapa undang-undang tersebut dapat dipahami bahwa permasalahan hukum
Islam yang menyangkut keperdataan haruslah diselesaikan melalui suatu lembaga
yang disebut Peradilan Agama. Melalui lembaga inilah perkara-perkara itu
diproses dan diselesaikan.
Dalam
perjalanannya, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia mengalami berbagai persoalan.
Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat merugikan eksistensi Peradilan
Agama ternyata berlanjut sampai era pasca kemerdekaan. Baru tahun 1989, yaitu
dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA),
eksistensi Peradilan Agama di Indonesia bisa memenuhi harapan umat Islam
Indonesia, terutama berkaitan dengan status hukum dan kewenangannya.
Pengesahan
UUPA merupakan peristiwa penting bagi umat Islam Indonesia.Dengan disahkannya UUPA
tersebut semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu
badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita dalam menegakkan
hukum berdasarkan hukum Islam mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan,
kewarisan, dan perwakafan yang sudah menjadi hukum positif di negara kita.
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa beberapa bagian hukum Islam dalam bidang muamalah
(keperdataan) berdasarkan peraturan perundang-undangan secara formal yuridis telah
menjadi bagian dari hukum positif kita. Untuk menegakkannya telah pula dimantapkan
eksistensi Peradilan Agama, yang menjadi bagian dari sistem peradilan nasional,
sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Dengan
UUPA eksistensi Peradilan Agama sebagai lembaga penegak hukum Islam memeiliki landasan
hukum yang kuat. Di
negara yang berdasarkan hukum, seperti Indonesia, hukum berlaku kalau didukung oleh tiga hal,
yaitu lembaga penegak hukum yang diandalkan, peraturan hukum yang jelas, dan
kesadaran hukum masyarakat. Inilah yang dikenal dengan doktrin hukum nasional
yang kebenarannya juga berlaku bagi hukum Islam (Bustanul Arifin, 1996: 56).
Lembaga
penegak hukum yang dimaksud di atas adalah Peradilan Agama, terutama
hakim-hakimnya. Para hakim Pengadilan Agama dipersyaratkan memiliki ijazah kesarjanaan baik
sarjana hukum Islam maupun sarjana hukum umum. Dengan persyaratan seperti ini
diharapkan para hakim Pengadilan Agama tersebut dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik. Pada masalah yang kedua, yakni peraturan hukum yang jelas, belum
dijamin keberadaannya secara total, karena peraturanperaturan hukum Islam (fikih)
masih belum bisa terhindar dari perbedaan pendapat, sehingga sangat sulit
untuk mengarah kepada unifikasi hukum Islam. Oleh karena itu, keperluan akan adanya
suatu kompilasi atau kodifikasi hukum sebenarnya adalah hal yang sangat wajar. Di
sinilah perlunya kompilasi hukum Islam agar peraturan hokum Islam menjadi jelas dan
terhindar dari perbedaan pendapat, sehingga dapat dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama dengan mudah. Atas dasar inilah para ulama Indonesia kemudian
membuat draf kompilasi hukum Islam yang memuat tiga kitab hukum, yaitu hukum
perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Draf ini kemudian diresmikan
berlakunya berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991
(Abdurrahman, 1992: 50).
Namun,
harus diakui bahwa perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sangat
terbatas, yakni hanyalah masalah-masalah keperdataan. Hingga sekarang ini
belum ada upaya yang jelas yang mengarah kepada perluasan kewenangan Peradilan
Agama. Bidang kewenangan yang sebenarnya sangat pokok dan segera untuk
ditangani sampai sekarang belum pernah disinggung-singgung dalam wacana perdebatan
nasional, yakni masalah pidana (hukum pidana). Semakin banyaknya tindak
kriminalitas di negara kita saat ini barangkali juga akibat tidak adanya penanganan yang
jelas dalam masalah ini, terutama dalam menerapkan sanksi terhadap tindakan
kriminalitas tersebut. Umat Islam yang berperkara dalam masalah pidana ini masih
berurusan dengan Pengadilan Negeri, padahal aturan yang dipakai di Pengadilan Negeri masih
aturan-aturan pidana warisan pemerintah Belanda yang kurang sesuai dengan
ketentuan hukum pidana Islam. Jika hukum pidana Islam ini ditetapkan di Indonesia
sebagai hukum positif yang harus diterapkan dengan melibatkan Peradilan
Agama sebagai institusi penegak hukumnya, maka kedudukan dan wewenang Peradilan
Agama akan semakin mantap di negara kita dan eksistensi hukum Islam juga
semakin kuat dan mengikat semua umat Islam di Indonesia.
Karena
kondisi seperti itulah, maka untuk suksesnya pelaksanaan hukum Islam di negara kita, yang
sangat dibutuhkan sekarang adalah faktor yang ketiga, yaitu adanya kesadaran hukum
yang tinggi dari umat Islam. Tanpa adanya kesadaran hukum ini, akan sulit
bagi Pengadilan Agama untuk menegakkan hukum Islam di tengah-tengah
masyarakat. Oleh karena itu, kredibilitas Peradilan Agama sebagai institusi penegak
keadilan sangat tergantung kepada umat Islam yang bertanggung jawab mengemban dan
melaksanakan peradilan tersebut. Dalam rangka inilah pembinaan organisasi,
administrasi, personal, dan keuangan Peradilan Agama haruslah diusahakan
dengan sebaik-baiknya agar eksistensi Peradilan Agama ini benar-benar mantap
nantinya. Inilah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh Departemen Agama
sebagai lembaga yang menaungi keberadaan Peradilan Agama di Indonesia.
Penutup
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga Peradilan Agama di Indonesia sebenarnya
sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, karena pada waktu itu
Indonesia berada dalam kekuasaan pemerintah Belanda, maka keberadaan Peradilan
Agama sangat diwarnai oleh kepentingan pemerintah Belanda. Dan inilah yang
terkadang sering berbenturan dengan aspirasi masyarakat Indonesia yang mayoritasnya
menganut agama Islam. Setelah
Indonesia merdeka, eksistensi Peradilan Agama masih belum mantap dibandingkan dengan
eksistensi peradilan lainnya hingga ditetapkannya Undangundang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dengan UUPA ini, Peradilan Agama benar-benar
mantap dan mempunyai status hukum yang kuat dan memiliki kedudukan yang sama dan
setingkat dengan peradilan-peradilan lainnya dengan kekuasaan dan wewenang
yang berbeda. Harus diakui juga, bahwa wewenang Peradilan Agama masih
terbatas pada perkara-perkara umat Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan,
serta perwakafan, dan belum menjangkau bidang hukum yang lain.
Eksistensi
Peradilan Agama sangat berarti bagi umat Islam Indonesia, terutama dalam menegakkan
pelaksanaan hukum Islam yang bersifat formal yuridis. Namun, keberadaan Peradilan
Agama ini belum bisa menjamin berlakunya hukum Islam tersebut dengan baik
jika tidak ditunjang oleh kesadaran yang tinggi dari umat Islam sendiri. Kesadaran yang
tinggi ini sangat membantu Peradilan Agama dalam melaksanakan
fungsinya sebagai lembaga penegak hukum syariat atau fikih di Indonesia.\
Daftar Pustaka
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Akademika Pressindo. Cet. I.
Amrullah
Ahmad (et al.). 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65
Th. Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H. Jakarta:
Gema Insani
Press. Cet. I.
Bustanul
Arifin. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan
Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press. Cet. I.
Cik
Hasan Bisri. 1997. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Cet. I.
Mohammad
Daud Ali. 1989. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”. Dalam
Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di
Asia Tenggara. Terj. oleh Rochman Achwan. Jakarta: LP3ES. Cet. I.
_______________.
1991. “Hukum Islam: Peradilan dan Masalahnya”. Dalam Tjun surjaman (ed.). Hukum
Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet.
I.
_______________.
1996. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Edisi
Kelima. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet. V.
Munawir
Sjadzali. 1991. “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan
Agama di Indonesia”. Dalam Tjun Surjaman (ed.). Hukum Islam di
Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. I.
Sajuti
Thalib. 1980. Receptio a Contrario. Jakarta: Academica. Cet. I.
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Biodata
Penulis
Marzuki,
dilahirkan di Banyuwangi tanggal 21 April 1966. Ia menyelesaikan studi S- 1 dari Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1990 dan menyelesaikan studi S-2
dari Program Pasca Sarjana Jurusan Pengkajian Islam di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 1997. Mulai tahun 1997 ia mengambil studi S-3 di Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga sekarang.
Tulisan-tulisan yang dibuatnya berkisar dalam bidang Pendidikan Agama Islam dan Hukum
Islam.