Makalah Tentang Riba

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalab barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi.Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
      Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram
 Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal.
BAB II
      PEMBAHASAN


A.Pengertian Riba
Pengertian Riba ditinjau dari segi pengertian bahasa, riba berarti nilai lebih (tambahan). Sedangkan menurut pengertian syara’ riba berarti nilai tambahan yang diharamkan dalam urusan pinjam-meminjam dimana salah satu pihak merasa berat dan rugi sedangkan pihak lainya menarik keuntungan tanpa menanggung resiko.  Para ulama sepakat riba itu ada empat macam yaitu :
   a. Riba Fadli  yaitu riba dengan sebab tukar menukar barang sejenis dengan jumlah yang berbeda seperti menjual emas dengan emas, gandum dengan gandum dan beras dengan beras yang kualitasnya sama tetapi kuantitasnya berbeda. Sabda Rosulullah  SAW yang artinya:
“Dari Abi Said Al-Khudri sesungguhnya Rosulullah  SAW bersabda: Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagianya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam jumlah yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagianya dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil), dengan yang abstrak (ghaib) (HR. Bukhari)”
   b. Riba Nasi’ah  yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berhutang disebabkan memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Misalnya jual beli kredit dengan cara menetapkan adanya dua macam harga bila dibeli dengan secara kontan. Sabda Rosulullah SAW yang Artinya:
“dari Samurah bin Jundab, Sesungguhnya Nabi telah melarang jual     beli hewan dengan bertenggang waktu (Riwayat lima imam Hadits dan disahkan Turmudzi dan Ibnun Jarud)”
   c. Riba Qardh  yaitu pinjam meminjam atau berhutang piutang dengan menarik keuntungan dari orang yang meminjam atau yang berhutang seperti meminjam uang dengan dikenakan bunga yang tinggi. Sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba (HR. Baihaqi)”
  d. Riba Yad yaitu bila salah satu dari penjual atau pembeli dalam jual beli telah meninggalkan majelis akad sebelum saling menyerah terimakan barang.

Para ulama  sepakat hukum riba adalah haram. Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
  a.   Firman Allah SWT  yang artinya:
               “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah: 275)”
  b. Saksi riba meliputi semua pihak yang terlibat. Sabda Rasulullah SAW telah melaknat orang yang makan barang barang riba dan yang mewakilinya penulisanya dan dua orang saksinya dan sabda beliau “Mereka semua adalah sama (HR. Muslim) ”
  c.  Larangan menggunakan hasil (sisa) riba. Firman Allah SWT  yang artinya:
               “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (QS. Al-Baqarah: 278)”
  d.  Larangan Allah memakan riba. Firman Allah SWT yang artinya :
               “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan  (QS. Al-Imran: 130)”
  e.  Sanksi bagi pemakan riba. Firman Allah SWT yang artinya:
               “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba ( QS. Al-Baqarah :275)”


  f.  Pernyataan Allah tentang riba.  Firman Allah SWT :
    "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa (QS. Al-Baqarah: 276)”                          
  g.  Riba itu harga yang tidak ada berkahnya. Firman Allah SWT  yang artinya:
“Dan semua riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah (QS.Ar-Rum:39)”

C. Pendapat Ulama tentang ‘Illat Riba
Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada tujuh barang, seperti terdapat para nash, yaitu emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan.
Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat:
  a.  Zhahiriyah hanya mengharamkan ke tujuh benda tersebut
  b.  Menurut pendapat yang masyhur dari imam ahmad dan abu hanifah, riba fadhl terjadi pada setiap jual beli barang sejenis dan yang di timbang.
  c.  Imam syafii dan sebagian pendapat imam ahmad berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas, perak dan makanan meskipun tidak ditimbang.
  d.     Said bin Musayyah dan sebagian riwayat ahmad mengkhususkannya pada makanan jika di timbang.
  e.      Imam malik mengkhususkan pada makanan pokok.Untuk lebih jelasnya, perbedaan pendapat tersebut akan dijelaskan di bawah ini:
    1. Madzab Hanafi      
Illat  riba fadzl menurut ulama’ hanafiyah adalah jual beli    barang yang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis dari barang-barang yang telah disebut di atas, seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.
Adapun jual beli selain barang-barang yang di timbang. Seperti hewan, kayu dan lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya, seperti menjual satu kambing dengan dua kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa ditimbang.
Diantara hikmah diharamkanya riba adalah untuk menghilangkan tipu-menipu di antara manusia dan juga menghindari kemadaratan. Asal keharamanya adalah Sadd Adz-Dzara’I (menurut pintu kemadaratan). Namun demikian, tidak semua berdasarkan sad adz-dzara’i. tetapi ada pula yang betul-betul dilarang, seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk, sebab hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan.
Ukuran riba fadhl pada makanan adalah setengah sha’, sebab menurut golongan ini, itulah yang ditetapkan syara’. Oleh karena itu, di bolehkan tambahan jika kurang dari setengah sha’.
Illat riba nasi’ah  adalah adanya salah satu dari dua sifat yang ada pada riba fadhl dan pembayaranya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang jahiliyah, seperti seorang membeli dua kilogram beras pada bulan januari dan akan dibayar dengan dua setengah kilogram beras pada bulan februari. Contoh lain dari riba nasi’ah yang berlaku secara umum sekarang adalah bunga bank.
    2. Madzab Malikiyah                        
          Illat diharamkanya riba menurut ulama’ Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam hubunganya dengan riba nasi’ah  dan riba fadhl.
           Illat diharamkanya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekadar makanan saja (makanan selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.
Illat diharamkanya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.
    3. Madzab Syafi’i
Illat riba pada emas dan perak adalah harga, yakni kedua barang tersebut dihargakan atau menjadi harga sesuatu. Begitu pula uang, walaupun bukan terbuat dari emas, uang pun dapat manjadi harga sesuatu. Makanan adalah Illat pada segala sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi tiga.
    a.  Sesuatu yang biasa kriteria berikut ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok;
    b.  Makanan yang lezat atau yang dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering;
    c.  Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan, yakni obat. Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah untuk menyehatkan badan.
Dengan demikian, riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi kriteria di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual beli memenuhi kriteria:
    a.      Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan datang
    b.  Sama ukuranya
    c.  Tumpang terima.
Menurut ulama’ Syafi’iyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya, seperti menjual gandum dengan jagung, dibolehkan adanya tambahan. Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada hadits yang artinya:
“(jual beli) Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima.jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang terima”.
    4. Madzhab Hambali
Pada madzhab ini terdapat tiga riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur adalah seperti pendapat ulama hanafiyah. Hanya saja, ulama hanafiyah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.
Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah. Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia. Hal itu sesuai dengan pendapat Said Ibn Musayyab yang mendasarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah SAW yang artinya:
 “Tidak ada riba, kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan dan diminum.”
    5. Madzab Zhahiri
Menurut golongan ini, riba tidak dapat di-illatkan, sebab ditetapkan dengan nash saja. Dengan demikian, Riba hanya terjadi pada barang-barang yang telah ditetapkan pada hadis di atas, yaitu enam macam sebab golongan ini mengingkari adanya qiyas.



















BAB III
KESIMPULAN


Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menutur etimologi, riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan atau nilai lebih atau tambahan. Riba berarti nilai tambahan yang diharamkan dalam urusan pinjam-meminjam dimana salah satu pihak merasa berat dan rugi.
Riba ada 4, yaitu: Riba Fadli, Riba Nasi’ah, Riba Qardh dan Riba Yad. Hukum riba adalah haram.
Pendapat Ulama tentang ‘Illat Riba, Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada tujuh barang, seperti terdapat para nash, yaitu emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan.
Illat  riba fadzl menurut ulama’ hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering.
Illat diharamkanya riba menurut ulama’ Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam hubunganya denganriba nasi’ah  dan riba fadhl.
Illat diharamkanya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekadar makanan saja (makanan selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.
Illat diharamkanya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.









Kata penutup

   Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi Yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

   penyusun banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.