BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang Masalah
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat
yang Qathi’ (pasti, yang tidak mungkin lagi dimasuki oleh daya nalar manusia,
seperti kewajiban melakukan shalat, wajib puasa, zakat dan haji. Kemudian ada
lagi ayat-ayat yang zhanni (dugaan,memungkinkan beberapa pengertian dan
penafsiran). Dari ayat-ayat yang bersifat zhanni ini timbul berbagai macam
pendapat dan aliran dalam Islam.
Dari interpretasi yang berbeda
terhadap ayat-ayat yang zhanni, kemudian muncul berbagai macam aliran
pemikiran Islam. Ini bermula ketika Nabi Muhammad SAW wafat. Di zaman Nabi
pemetaan pemikiran belum terjadi karena Nabi menjadi sumber rujukan tunggal
dalam memahami ayat-ayat tersebut.
Sekarang kita kenal berbagai macam
pemikiran atau aliran-aliran pemikiran dalam Islam. Hal tersebut sedikit
menjelimet dan membuat kaum muslimin sedikit bingung dalam pmenyaksikan
realitas yang ada. Terlebih dalam persoalan siapa yang benar dan siapa yang
salah? Maka dari itu, siapa yang akan diikuti menjadi persoalan yang lebih
rumit lagi.
Aliaran –aliran dalam Islam secara
garis besarnya adalah tasawuf, politik, hukum, filsafat dan teologi.
Masing-masing dari pembagian aliran-aliran yang telah kami sebutkan di atas.
Mereka terbagi-terbagi lagi menjadi beberapa bagian.
Namun hal yang terpenting yang harus
digaris bawahi sumber mereka satu yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedang
realitas yang ada meman benar adanya bahwa Allah SWT menurunkan ayat yang
sifatnya zhanni lebih banyak daripada ayat yang sifatnya Qhat’i. Agar daya
nalar yang dimiliki oleh manusia berkembang.
Dan kami di sini ingin mengatakan
perbedaan tersebut janganlah dianggap sebagai sebuah masalah, terlebih
mengatakan hal itu adalah ‘aib. Tidak perlu bingung, dan menjadikannya sebagai
beban yang memberatkan kehidupan kita. Yang terpenting mengikuti ajaran yang
telah diyakini dengan sebaik mungkin. Dengan landasan fitrah yang menjadi
neraca.
B.Rumusan Masalah
Sehubungan latar belakang masalah
telah kami uraikan di atas, maka ada beberapa masalah yang akan kami rumuskan.
Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.Apa yang dimaksud dengan potensi indrawi,akal dan kalbu.?
2.Apa yang dimaksud dengan dimensi
islam,iman,dan ihsan.?
3.Apakah yang dimaksud dengan Aliran
fiqih,kalam dan tashawuf.?
C.Tujuan Penulisan
Dengan adanya makalah yang telah
kami susun ini bisa menambah khasanah keilmuan kita, khususnya dalam
kajian ke-Islaman. Bukan sekadar berislam akan tetapi benar-benar mengerti apa
itu Islam. Sehingga masyarakat dapat tercerahkan dengan eksisistensi yang
diperkenalkan oleh pemikiran-pemikiran Islam yang mengarah kepada kepada
keselamatan dunia dan akhirat.
Adapun tujuan khususnya yaitu :
1.Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan potensi Inderawi,Akal,dan Kalbu.
2.Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan dimensi islam,iman dan ihsan.
3.Untuk mengetahui aliran kalam,fiqh
,dan tashawuf dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Apa itu
Potensi Indrawi
Dari beberapa sudut
pandang tentang keindahan dalam karya seni atau kesenian, baiklah kita melihat
kembali , bahkan setiap detik, setiap menit gerak atau prilaku diri kita
sendiri atau sesama kita, maaf pada tulisan ini saya tidak membicarakan perihal
prilaku Hewan, prilaku manusia dapat disebut Humaniora, baik persoalan diri
sendiri maupun sesamanya, dalam ruang tempat serta persolan diri dengan
tuhannya (Ilahiah) artinya sudah benarkan pembenaran kehidupan dalam berprilaku
mengujudkan keindahan, baik lewat potensi akal – budi, budi – daya, atau
potensi indrawi saling terkait, seimbang dan dinamis.
Perilaku manusia memang
persoalannya menjadi rumit, kalau benda - benda alam, termasuk tumbuh-tumbuhan
dan hewan berkembang dan bergerak secara stabil dan konstan. Tidak demikian
halnya pada manusia. Pada manusia, gerakan dan perkebangan Prilaku jestru labil
tetapi tidak menentu, sejak lahir, manusia belum terkondisikan. Ia terus
mencari menyesuaikan dengan kondisi alam lingkungannya, Manusia selalu mencari
Pengalaman pengalaman sehingga tujuan dapat tercapai, Sukses, Bahagia sudah
barang tentu kesuksesan dan kebahagian yang di dapat benar benar membawa
manfaat baik terhadap dirinya maupun sesamanya (Keluarga Lingkungan
masyarakatnya ).
Pencaharian-pencaharian
itu tadilah manusia dengan pengalaman, pikiran, dan kemauannya untuk terdidik
bisa mempertahankan untuk mengembangkan hidup dan kehidupannya, kemauan terus
berkembang mengikuti Spirit, indrawi bergerak terus mengembangkan Ide – ide
yang baik yang bersumber dari Imperis (Pengalaman luar) maupun pengalaman
bathin, daya cipta, nurani, landasan hukum kepercayaan keimanan dan karsanya
yang terpadu secara utuh bergerak secara dinamis kearah satu titik yaitu
Keberhasilan/ kesuksesan berdasar Penguasaan pengalaman.
Dari sinilah kita
mendapat suatu pandangan bahwa, Keindahan di dalam Prilaku manusia terdapat
pada Keberhasilan berkarya yang membawa manfaat terhadap dirinya maupun
terhadap masyarakat banyak berdasar penguasaan pengalaman sehingga menjadi budaya
bersama. Pengusaan Hukum mutlak (sumber dari Agama), bathin, nurani dan daya
cipta intensitasnya berdasar Keimanan yang dianut oleh manusia itu sendiri,
artinya setiap Karya, Karsa tidak berlandasan Ilahiah maka Keindahan pasti
tidak akan terwujud karena tidak memberikan manfaat pada masyarakat lainnya
maupun terhadap dirinya sendiri.
Intensitas dalam perilaku manusia
khususnya yang berkeyakinan agama Islam mereka wajib berdasar Innalillahi
Wainnailaillahi Rajiun, setiap apapun di alam ini datangnya dari Tuhan Azali
(Allah SWT) dan setiap apapun kembali kepada Tuhan Azali (Allah SWT) Artinya
meimplementasikan karyanya tujuannya adalah ilahiyah (Syiar, dakwah, kemaslatan
yang mengandung ibadah ). Memang ada beberapa pakar seni budaya Islami di
Indonesia berpendapat bahwa masyarakat islam Indonesia sekarang ini dalam ragu
dan bimbang, saling bertanya dan menerka , Apakah seni dan budaya ini dan itu
sudah dalam Pembenaran menurut hukum/ aqidah Agama atau Norma–norma Budaya
Bangsa, jadi keindahan harus berdasar Landasan Ilahiah, namun Landasan Ilahiah
mengandung beberapa komponen:
1.Komponen Keagamaan yang serba relegi
yang mencerminkan Rasa takut dan rasa percaya diri terhadap hal-hal yang di
larang atau hal-hal yang dihalalkan (dibenarkan oleh agama dan hukum negara).
2.Komponen Kepercayaan/ keyakinan yang
merupakan hasil olah Pikir/ Indrawi serta gagasan manusia yang berkenan dengan
keyakinan yang tidak berbenturan dengan aspek historis, aspek
lingkungan(Alam-masyarakatnya)dan konsep-konsep Moral yang beradab serta aspek
aplikatif hilostis.dan yang terpenting menggali keindahan dalam berkarya
problematik/proses dari input ke Output untuk mencapai aplikasi seni tersebut
benar - benar di saring secara logical.
Sekarang dimana saja masyarakat mulai
sadar bahwa setiap seni yang dilandasi Ilahiah dapat memperbaiki norma
kehidupan masyarakat itu sendiri.
Jelas dan tegas bahwa setiap seni dan
budaya yang berlandaskan ajaran agama dan tidak berbenturan dengan logical
serta norma-norma bangsa, dapat merubah “karakter down” manusia menjadi
“karakter full”.
Dan yang sangat jelas dan sangat tegas
dalam menilai untuk mencari pembenaran dalam kebenaran Keindahan pertama
ujudkan kesadaran diri, kedua jangan terikat oleh referensi –referensi, jangan
terbelenggu oleh realita yang dilihat dan yang diteliti, kalau tidak kita filter
dengan apa aplikatif realita benda itu, dimana kandungan historisnya benda itu,
bagaimana problematif ujud terjadinya benda itu, karena tanyakan Nuranimu
saring dengan akalmu (Logical) Nuranimu adalah halifah dalam hidupmu, akal
adalah timbangan/mizan ilmu hidupmu.
2. Apa itu Qalbu
Pengertian kalbu itu terbagi kedalam dua
macam,yaitu :
a.Qalbu jismani, yaitu jantung
Ada hadits tentang qalbu yang sangat
populer di masyarakat, sering diucapkan oleh para ustadz dan muballigh dalam
ceramah-ceramah mereka. Tapi sayangnya orang kurang cermat dalam memahami makna
qalbu pada hadist ini.
Abu Nu`aym menceritakan bahwa
Rasulullah s.a.w. berkata: “Sesungguhnya di dalam jasad ada sebongkah daging;
jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya, jika ia rusak maka
Rusaklah jasad seluruhnya ; bongkahan daging itu
adalah Qalbu.”
Hadits di atas jelas menyebut qalbu sebagai bongkahan
daging (benda fisik) yang terkait langsung dengan keadaan jasad atau tubuh
manusia. Bongkahan daging mana yang kalau ia
Ia sakit atau rusak maka seluruh jasad akan rusak.?
Bahasa Arab mengenal qalbu dalam bentuk fisik
yang di dalam kamus didefinisikan sebagai ‘organ yang sarat dengan otot yang
fungsinya menghisap dan memompa darah, terletak di tengah dada agak miring ke kiri’.
Jadi, qalbu adalah jantung. Dokter qalbu adalah dokter jantung. Jantung adalah
bongkahan daging yang kalau ia baik maka seluruh jasad akan baik atau
sebaliknya kalau ia rusak maka seluruh jasad akan rusak.
b.Qalbu ruhani, yaitu hatinurani.
Ada juga jenis qalbu yang kedua, sebagaimana digambarkan
dalam hadits berikut:
“Sesungguhnya orang beriman itu, kalau berdosa, akan akan terbentuk bercak hitam di qalbunya”. (HR Ibnu Majah)
“Sesungguhnya orang beriman itu, kalau berdosa, akan akan terbentuk bercak hitam di qalbunya”. (HR Ibnu Majah)
Jadi kalau banyak dosa qalbu akan
dipenuhi oleh bercak-bercak hitam, bahkan keseluruhan qalbu bisa jadi
menghitam. Apakah para penjahat jantungnya hitam? Apakah para koruptor
jantungnya hitam? Tanyakanlah kepada para dokter bedah jantung, apakah jantung
orang-orang jahat berwarna hitam? Mereka akan katakan tak ada jantung yang menghitam
karena kejahatan dan kemaksiatan yang dibuat. Lalu apa maksud hadits Nabi di
atas?
Qalbu yang dimaksud dalam hadits itu adalah qalbu ruhani. Ruh (jiwa) memiliki inti, itulah qalbu. Karena ruh (jiwa) adalah wujud yang tidak dapat dilihat secara visual (intangible) maka qalbu yang menjadi inti (sentral) ruh ini pun qalbu yang tidak kasat mata. Dalam bahasa Indonesia ‘qalbu ruhani’ disebut dengan ‘hatinurani’.
Qalbu yang dimaksud dalam hadits itu adalah qalbu ruhani. Ruh (jiwa) memiliki inti, itulah qalbu. Karena ruh (jiwa) adalah wujud yang tidak dapat dilihat secara visual (intangible) maka qalbu yang menjadi inti (sentral) ruh ini pun qalbu yang tidak kasat mata. Dalam bahasa Indonesia ‘qalbu ruhani’ disebut dengan ‘hatinurani’.
Mungkin karena dianggap terlalu
panjang dan menyulitkan dalam pembicaraan, maka orang sering menyingkatnya
menjadi ‘hati’ saja. Padahal ada perbedaan besar antara ‘hati’
dengan ‘hatinurani’ sebagaimana berbedanya ‘mata’ dengan ‘mata
kaki’.
Rupanya, istilah qalbu mirip dengan
heart dalam bahasa Inggris, sama-sama memilki makna ganda. Heart dapat bermakna
jantung (heart attack, serangan jantung) dapat juga bermakna hatinurani (you’re
always in my heart, kamu selalu hadir di hatinuraniku). Maka apabila
mendengar perbincangan tentang qalbu perhatikanlah konteksnya. Kalau yang
berbicara adalah dokter medis, tentu qalbu yang diucapkannya lebih bermakna
jantung. Tapi bila dikaitkan dengan perbincangan tentang moral, iman atau
spiritualitas, maka maknanya lebih mengarah pada hatinurani yang wujudnya
ruhaniah.
Qalbu orang yang berdosa akan
menghitam. Ungkapan ‘menghitam’ di sini adalah ungkapan perumpamaan (majâzi,
metaphoric) bukan ungkapan sesungguhnya (haqîqi). Namun bukan
berarti karena dosa tak kan nampak bekas-bekas fisiknya lalu kita akan
seenaknya saja berbuat dosa. Na`ûdzubillâh min dzâlik...
3. Apa itu akal
Kata al-‘aql di dalam bahasa
Arab, selain berarti pikiran dan intelek, juga digunakan untuk menerangkan
sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Salah satu arti dari akar kata ‘aql
adalah ikatan.
Di dalam al-Quran, Tuhan menyebut mereka
yang ingkar sebagai orang yang tidak bisa berpikir ‘laa ya’qiluun’
mereka yang tidak bisa menggunakan akalnya dengan baik. Sangat ditekankan di
dalam al-Quran bahwa runtuhnya iman tidak disamakan dengan timbulnya kehendak
yang buruk, melainkan dengan tidak adanya penggunaan akal secara baik.mungkin
bagi sebuah kata untuk memiliki berbagai arti dalam berbagai konteks. Sebagai contoh, sebuah kata mungkin memiliki arti khusus dalam penggunaan
para ahli logika dan para filosof, dan arti lain dalam penggunaan para ahli
tata bahasa.
Kata kalimah
memiliki satu arti dalam penggunaan secara umum dan dalam penggunaan para ahli
tata bahasa, dan arti lain dalam pemakaian para ahli logika, para ahli hukum
dan undang-undang. Jika sebuah kata memiliki dua arti atau lebih dalam satu
kumpulan penggunaan, seseorang harus mengatakan bahwa kata itu memiliki arti
dalam ungkapan ini, dan arti itu dalam ungkapan itu. Jawaban yang tersedia
untuk pertanyaan-pertanyaan semacam itu disebut pengertian-pengertian verbal.
Kadang-kadang
jika seseorang menyelidiki pengertian sesuatu, maka apa yang dicari bukanlah
arti katanya melainkan hakikat (realitas) dari. rujukannya. Kita tidak
bertanya, “Apa arti kata ini?” Kita mengetahui arti kata tersebut, tapi bukan
realitas dan kesejatian rujukannya. Sebagai contoh, jika kita bertanya, “Apa
manusia itu?” maka kita tidak berusaha mengetahui apa arti kata “manusia” itu.
Kita semua mengetahui bahwa kata “manusia” digunakan bagi makhluk berkaki dua,
berpostur tegak-lurus dan dapat berbicara. Sebaliknya dari mempertanyakan arti
kata itu, kita berusaha mengetahui identitas dan realitas makhluk manusia ini.
Jelaslah, dalam masalah ini, hanya terdapat satu jawaban yang benar, yang
disebut definisi (ta’rif) yang nyata.
Pengertian
verbal lebih dahulu dari pengertian (definisi) yang nyata. Yaitu, pertama-tama,
seseorang harus memastikan arti konseptual kata tersebut, dan kemudian
menggambarkan pengertian nyata dari rujukannya. Jika tidak, maka kekeliruan dan
perselisihan-perselisihan tiada ujung akan timbul karena suatu kata mempunyai
banyak arti menurut bahasa maupun ungkapan, dan keserbaragaman arti ini dapat
diabaikan secara begitu saja.
Setiap kelompok dapat mendefinisikan
suatu kata dengan arti khusus dan berikut pemakaian idiomatiknya, dengan tidak memperhatikan
fakta bahwa arti itu menggambarkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
digambarkan oleh kelompok lain. Akibatnya mereka berselisih secara sia-sia.
Kekeliruan untuk mengenali kata
tersebut dari realitas rujukannya kadang-kadang berakibat munculnya
transformasi dan evolusi yang menggantikan arti suatu kata yang dianggap
berasal dari realitas yang ditunjukkannya.
Sebagai contoh, suatu kata tertentu
pertama kali mungkin dipakai untuk suatu keseluruhan dan kemudian, lewat
perubahan penggunaan, dipakai hanya untuk satu bagian dari keseluruhan tadi.
Jika seseorang gagal mengenali arti
kata tersebut dari realitas rujukannya, dia akan mengira bahwa keseluruhan itu
benar-benar telah dipecah-pecah, padahal kenyataannya tidak ada perubahan yang
terjadi dalam keseluruhan itu. Yang sebenarnya terjadi adalah kata yang dipakai
untuknya telah berganti maknanya untuk digunakan pada suatu bagian dari
keseluruhan itu.”
1], Kesalahan semacam inilah
yang juga terjadi pada banyak kalangan terutama kalangan Sufi di dalam
pemaknaan Akal. Muthahhari di dalam bukunya “Insan Kamil” juga
mengkritik Aliran Irfan yang cenderung merendahkan akal.
2),Bahkan artikel Dimitry
Mahayana yang berjudul “Kesadaran Uniter Ilahiah: Melepaskan Diri dari
Keraguan Cartesian”
3) . mendapat tanggapan yang
cukup “keras” dari Ustad Musa Kazhim (al-Habsyi) berkenaan dengan
pemaknaan dan pemahaman Akal yang menurut Ust. Musa Kazhim keliru.
Ust. Musa Kazhim menulis
artikel khusus yang berjudul “Kontroversi Seputar Akal, Hati dan Eksistensi
“demi meluruskan pemahaman akal yang sebenarnya.
Sayyid Husayn Nashr, di dalam
bukunya, Islam Dalam Cita dan Fakta, mengatakan bahwa “Arti akal
bukanlah apa yang menjadi anggapan umum pada zaman modern ini, yaitu kecepatan
berpikir dan kecerdasan gemilang yang bermain dengan ide-ide tanpa mampu
mencapai dasar ide itu. Akal yang
seperti ini serupa dengan danau es yang membeku di mana segalanya meluncur pada
permukaannya, dari satu sisi ke sisi yang lain, tanpa mampu mencapai dasar
danau. Bukan aktivitas mental serupa ini yang disebut akal di dalam Islam.
1. Apa itu Islam
Islam adalah risalah
Allah SWT. yang terakhir bagi manusia, oleh karena itu Islam adalah agama
terakhir yang diturunkan Allah SWT. kepada Nabi-Nya yang terakhir yaitu
Sayidina Muhammad Saw.. Dan juga sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. adalah membawa
risalah Allah SWT. yang universal dan sebagai pembuka untuk semua alam. Setiap
Nabi datang dengan risalah dari Allah SWT. untuk kaumnya masing-masing,
sedangkan Nabi Muhammad Saw. dengan Islam sebagai risalah Allah SWT. yang
terakhir untuk semua manusia bahkan jin. Allah SWT. berfirman: "Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam."( QS. Al-Anbiya': 107), Allah SWT. berfirman: "Dan Kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui." (QS. Saba': 28), dan Allah SWT. berfirman: "Katakanlah:
"Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua"
(QS. Al-A'raf: 158) Dan juga Nabi Muhammad Saw. telah mengkabarkan kepada kita
bahwa sesungguhnya Allah SWT. telah mengkhususkan Nabi Muhammad Saw. dengan
amanat seperti ini, maka Nabi Muhammad Saw bersabda: "Nabi yang dahulu
diutus untuk kaum yang khusus, sedangkan aku diutus untuk manusia
seluruhnya" (HR. Bukhari Muslim)
Islam adalah agama yang
mudah, tidak sukar dan tidak sempit, Allah SWT. berfirman: "Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan."
(QS. Al-Hajj: 78) Allah SWT. juga berfirman: "Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185) dan asas Allah SWT.
kepada agama ini secara dzahir ada lima rukun yaitu: Dua Syahadat, shalat,
zakat, puasa, dan haji ke baitullah. dan di dalam akidah kita yaitu rukun iman,
ada enam rukun yaitu: Iman kepada Allah SWT., Malaikat-Malaikat-Nya,
Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari kiamat, dan ketetapan yang baik dan
buruk. Kemudian keimanan dibagi kedalam rincian-rincian yang banyak, yaitu
beberapa perintah dan larangan di dalam Syariat Islamiyah yang telah
menghubungkan dalam jumlahnya kepada sebuah kejelasan, dan tujuh puluh cabang
seperti yang dikabarkan oleh orang yang percaya dan dipercaya.
Sebuah Hadits Jibril as.
yang menjelaskan rukun Islam dan Iman, diriwayatkan oleh tuan kita 'Umar ra.
Berkata: Suatu ketika kami sedang berada di sebuah majlis bersama Rasulullah
Saw. ketika itu muncul seoarang laki-laki yang sangat putih bajunya dan sangat
hitam rambutnya, tidak terlihat kepadanya bekas perjalanan yang jauh, dan
satupun dari kita tidak mengenalnya, kemudian dia duduk dihadapan Nabi Saw,
lalu orang itu menyenderkan lututnya kepada lutut Nabi Saw., dan meletakan
telapak tangannya di atas paha Nabi Saw., dan berkata: "Wahai Muhammad,
kabarkanlah kepadaku tentang Islam".
Maka Rasulullah Saw.
bersabda: "Islam adalah kamu bersaksi bahwa tiada ada Tuhan selain Allah
dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, memberikan
zakat, puasa di bualan Ramadhan, dan haji ke baitullah jika kamu mampu
menjalankannya.". Orang itu berkata: "Kamu benar". 'Umar
berkata: "Maka kami terkejut kepadanya, dia bertanya dan membenarkannya.
Kemudian orang laki-laki itu bertanya lagi: "Lalu kabarkan lah kepadaku
tentang iman". Nabi menjawab: "Kamu percaya kepada Allah,
Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan
takdir baik dan buruk". Dia berkata: "Kamu benar". Kemudian bertanya
lagi: "Lalu kabarkanlah kepadaku tentang Ihsan". Nabi menjawab:
"Kamu menyembah Allah seperti kamu melihat-Nya tetapi jika belum dapat
melihat-Nya maka sesungguhnya Beliau melihatmu". Lalu dia bertanya lagi:
kabarkanlah kepadaku tentang hari kiamat. Nabi menjawab: "Orang yang ditanya
tidak lebih mengetahui daripada orang yang bertanya". Lalu dia bertanya
lagi: Kabarkanlah kepadku tentang janji hari kiamat. Nabi menjawab:
"Ketika pembantu melahirkan anak, kamu melihat para pemimpin tanpa alas
kaki sehingga ketergantungan dengan orang lain dan bangunan-bangunan semakin
tinggi". Berkata 'Umar: "Kemudian orang laki-laki itu keluar maka aku
timbul pertanyaan dalam hatiku, kemudian Nabi bersabda kepadaku: "Wahai
'Umar apakah kamu mengetahui siapa orang yang bertanya itu". Aku berkata:
"Allah dan Rasul lebih mengetahui". Rasul berkata: "Sesungguhnya
dia adalah Jibril, dia datang untuk memberi pengetahuan tentang agama
kalian" (HR. Muslim: juz 1 hal. 37) Dan Nabi Saw. mengkabarkan tantang
cabang iman, lalu Nabi berkata: "Sebuah kejelasan bahwa tujuh puluh cabang
iman dan sifat malu adalah sebagian cabang iman" (HR. Bukhari: juz 1 hal.
63)
Adapun dengan penamaan
Islam dengan kata Islam: sesungguhnya Islam adaah agama yang selamat dan
diselamatkan oleh Allah Tuhan semesta alam, maka Islam adalah agama yang
mengajak Muslim untuk berpasrah kepada Allah yang satu dan melepaskan dari
segala sesuatu yang selainnya dari Tuhan-Tuhan, patung-patung sampai segala
sesuatu yang menjadikan manusia musyrik bersama Tuhannya, karena sesungguhnya
dia mengikuti hawa nafsunya, Allah berfirman: "Terangkanlah kepadaku
tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu
dapat menjadi pemelihara atasnya?" (QS. Al-Furqan: 43), sama juga mengajak
Muslim kepada keselamatan hanya untuk diri sendiri, padahal bersama adanya
keluasan Allah, dalam masalah ini Nabi Saw. bersabda: "Seorang Muslim
sebagian dari keselamatan Muslim-Muslim yang lainnya dari lisannya dan
tangannya" (HR. Bukhari Muslim: juz 1 hal. 13)
Islam adalah agama yang
diridhai oleh Allah, Allah lah yang menamakan Islam dengan kata ini dan
meridhainya karena sesungguhnya Beliau adalah Tuhan semesta alam, Allah SWT.
berfirman: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu." (QS. Al-Ma'idah: 3). Allah SWT. juga berfirman: "(Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap
manusia." (QS. Al-Hajj: 78), Allah menamakan Muslim kepada orang Islam,
karena kekhususan-kekhususan dari umat yang terakhir ini. Umat yang memiliki
agama yang terakhir, Nabi Saw. yang terakhir. Sesungguhnya orang yahudi
menamakan dirinya sendiri yang sebagai binaan dakwahnya Nabi Musa as., Allah
SWT. bercerita dalam firman-Nya: "Sesungguhnya kami kembali (bertaubat)
kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa
yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.""
(QS. Al-'Araf: 156). Begitu juga orang-orang Nasrani menamakan dirinya sendiri,
Allah SWT. berfirman: "Dan diantara orang-orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah kami
ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa
yang mereka telah diberi peringatan dengannya." (QS. Al-'Araf: 156).
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam karena telah mengkhususkan dan
melebihkan kita atas semua ciptaannya yang sempurna.
Dan kita mengharapkan
dengan jawaban ini kita dapat mengetahui tentang kedudukan Islam antara
risalah-risalah yang terdahulu, juga kita mengerti tentang agama kita secara
keseluruhan, bagaimana dinamakan dengan kata Islam dan penemaan pengikut Islam
yaitu Muslim. Shalawat serta salamnya Allah atas Nabi kita, keluarganya, dan
para sahabatnya, dan Allah SWT. yang paling tinggi dan paling mengetahui.
2. Apa itu Ihsan
Ihsan’ adalah salah satu dari tiga komponen yang membentuk ad-diin kita,
yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Jika satu komponen saja tidak ada, atau tidak
paham, maka kita belum ber-diin dengan sempurna. Jika kita sudah paham makna
‘ihsan’, kita juga akan bisa meraba maksud makna kata-kata turunannya seperti ‘hasan’,
‘ahsan’, ‘muhsin’, ‘hasanah’, dan lain sebagainya.
Umumnya kita secara awam mengartikan kata ‘ihsan’, ‘hasan’, ‘ahsan’ dan semua kata yang berkaitan, dihubungkan dengan kata ‘baik’ sebagaimana tertulis di kamus bahasa Arab. Jika ‘ihsan’ di sana diartikan ‘baik’, maka ‘muhsin’ adalah ‘orang yang baik’, atau ‘orang yang suka berbuat baik’, dan seterusnya. Oke, itu tidak salah sih. Tapi apa bedanya ‘ihsan’ atau ‘hasan’, dengan ‘khair’ (baik)? Masalahnya, istilah Arab dalam Qur’an itu sama sekali bukan bahasa Arab sehari-hari, sehingga beresiko tidak akurat, kabur atau terlalu umum jika diterjemahkan melalui kamus bahasa Arab sehari-hari.
Umumnya kita secara awam mengartikan kata ‘ihsan’, ‘hasan’, ‘ahsan’ dan semua kata yang berkaitan, dihubungkan dengan kata ‘baik’ sebagaimana tertulis di kamus bahasa Arab. Jika ‘ihsan’ di sana diartikan ‘baik’, maka ‘muhsin’ adalah ‘orang yang baik’, atau ‘orang yang suka berbuat baik’, dan seterusnya. Oke, itu tidak salah sih. Tapi apa bedanya ‘ihsan’ atau ‘hasan’, dengan ‘khair’ (baik)? Masalahnya, istilah Arab dalam Qur’an itu sama sekali bukan bahasa Arab sehari-hari, sehingga beresiko tidak akurat, kabur atau terlalu umum jika diterjemahkan melalui kamus bahasa Arab sehari-hari.
Contoh, Q. S.
Al-Baqarah [2] : 195:
“Innallaha yuhibbul-muhsiniin.”
Sesungguhnya Allah
mencintai Al-Muhsiniin.
Jika ‘Al-muhsiniin’
diterjemahkan menjadi ‘orang-orang yang berbuat baik’ sesuai kamus bahasa Arab
sehari-hari, maka artinya menjadi ’sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berbuat baik.
3. Apa itu iman
Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin adalah
pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini
cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang
yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja
tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja
yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek)
(Lihat Syarh Arba’in, hal. 34)
Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi
beragam pendapat [dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan
sedikit perubahan redaksional] :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas kekeliruannya.
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah- berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada Fir’aun, ”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17] : 102). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS. An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.” (QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!….
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah- berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada Fir’aun, ”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17] : 102). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS. An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.” (QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!….
Imam Asy Syafi’i
rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa
bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang
dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman
bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia
berkurang dengan sebab meninggalkan amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa
dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan Imam
Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu
orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka
berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan
berkurang.” (Lihat Fathul Baari, I/60)
C. ALIRAN FIQH, KALAM, DAN TASAWUF
1. Aliran Fiqh
Fiqh atau
hukum islam merupakan salah satu bidang studi islam yang paling dikenal oleh
masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqh terkait lansung dengan kehidupan
masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu
berhubungan dengan fiqh. Tentang siapa misalnya yang harus bertanggung jawab
member nafkah terhadap dirinya, siapa yang menjadi ibu bapaknya, sampai ketika
ia dimakamkan terkait dengan fiqh karena sifat dan fungsinya yang demikian itu,
maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu al-hal yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan
termasuk ilmu yang wajib dipelajari, karena dengan ilmu itu pula seseorang baru
dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah SWT melalui ibadah salat,
puasa, haji, dan sebagainya.
Pengertian
hukum islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariah. Untuk itu
dalam pangetian hokum islam disini dimaksudkan didalamnya pengertian syariah.
Dalam kaitan ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hokum islam atau fiqh
adalah sekelompok dengan syariat yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal
perbuatan manusia yang diambil dari nash Al-quran atau As-sunnah. Bila ada nasb
dari al-qur’an atau as-sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut,
atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari al-qur’an
atau as-sunnah, dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan Ilmu Fiqh. Dengan
demikian yang disebut Ilmu Fiqh adalah sekelompok hokum tentang amal perbuatan
manusia yang diambil dari dalil-dali yang terperinci.
Yang
dimaksud dengan amal perbuatan manusia ialah segala amal perbuatan orang
mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadat, muammalat, kepidanaan, dan
sebagainya. Bukan yang berhubungan dengan akidah (kepercayaan). Sebab yang
terakhir ini termasuk Dalam pembahasan Ilmi Kalam. Adapun yang dimaksud dengan
dalil-dalil yang terperinci ialah satuan-satuan dalil yang masing-masing
menunjuk kepada suatu hUkum
tertentu.
Berdasarkan
batasan tersebut diatas sebenarnya dapat dibedakan antara syariah dan hokum
islam atau fiqh. Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil
yangdigunakannya. Jika syariat didasarkan pada nash al-qur’an atau as-sunnah
secara lansung, tanpa memerlukan penalaran, sedangkan hokum islam didasarkan
pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad
dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at. Dengan
demikian, jika syari’at bersifat permanen, kekal dan abadi, fiqh atau hokum
islam bersifat temporer, dan dapatberubah. Namun, dalam praktiknya antara
syariat dan fiqh sulit dibedakan. Ketika kita mengkaji suatu masalah misalnya
kita pergunakan nash al-qur’an dan as-sunnah, tetapi bersaman dengan itu kita
juga menggunakan penalaran. Hal ini amat dimungkinkan karena nash-nash
al-qur’an maupun as-sunnah tersebut sunguhpun secara tekstual tidak dapat
diubah, namun interpretasi dan penerapan nash al-qur’an dan as-sunnah tersebut
tetap memerlukan pilihan yang menggunakan akal. Dalam kaitan ini tidak
menherankan jika Ahmad Zaki Yamani memberikan cirri syariat islam identik
dengan cirri hokum islam. Cirri tersebut menurut Zaki Yamani ada dua. Pertama,
bahwa syariat islam itu luwes, dapat berkembang untuk menggulangi semua
persoalan yang berkembang dan berubah terus, ia sama sekali berbeda dengan apa
yang telah digambarkan baik oleh musuh-musuh islam, maupun oleh sementara
penganutnya yang menyeleweng atau yang kolot dan sempit, yakni bahwa syariat
islam itu suatu system, agama yang sudah lapuk dan nanar oleh sebab kelanjutan
usianya. Kedua, bahwa dalam pusaka perbendaharaan hokum islam terdapat
dasar-dasar yang mantap untuk pemecahan-pemecahan yang dapat dilaksanakan
secara tepat dan cermat bagi persoalan-persoalan yang paling pelik dimasa kini,
yang tidak mampu dipecahkan oleh prinsip-prinsip Timur, meskipun sekedar untuk
melunakkan saja.
2. Ilmu Kalam
Ilmu kalam
atau teologi termasuk salah satu bidang studi islam yang amat dikenal oleh
kalangan akademis maupun masyarakat umumnya. Menurut Ibnu Kaldum sebagaimana
dikutip A. Hanafi, ilmu kalam ialah ilmu berisi alasan-alasan yang
mempertahankan kepercyaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil
pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari
kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah.
Selain itu ada pula yang mengatakan
bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan
keagamaan dengan bukti-bukti yang menyakinkan. Didalam ilmu ini dibahas tentang cara membahas secara mendalam tentang
sifat-sifat Allah dan para Rasulnya dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti
guna mencapai kebahagian hidup abadi. Ilmu ini termasuk induk ilmu agama yang
paling utama bahkan paling mulia, karena berkaitan dengan zat Allah, dan zat
para Rasulnya.
Namun dalam perkembangan selanjutnya
ilmu teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan
keimanan serta akibatnya, seperti maslah iman, kufur, musyrik, murtad, maslah
kehidupan akhirat dengan berg=bagai kenikmatan atau penderitaanya, hal-hal yang
membawa pada semakin tebal dan tipisnya iman, hal-hal yang berkaitan dengan
Kalamullah yaitu Al-qur’an status orang-orang yang beriman dan sebagainya.
a. Model-Model Penelitian Ilmu Kalam
Secara garis
besar, penelitian ilmu kalam dapat dibagi menjadi 2 bagian, Pertama, Penelitian
yang bersifat Dasar atau pemula, dan Kedua, Penelitian yang bersifat Lanjutan
atau Pengembangan dari penelitian Model pertama. Penelitian model petama ini
sifatnya baru pada tahap membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu
dengan merunjuk pada Al-qur’an dan hadist serta berbagai pendapat tentang kalam
yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi. Sedangkan penelitian model kedua
sifatnya hanya mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu kalam dengan
menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama.
I. Penelitian Pemula
Melalui
penelitian model pertama dapat dijumpai sejumlah referensi yang telah disusun
oleh para ulama selaku peniliti pertama yang sifatnya dan keberadaannya telah
disebutkan diatas. Dalam kaitan ini kita jumpai beberapa karya hasil penelitian
pemula sebagai berikut:
a) Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy
Al-Samarqandy
b)Model Al-Imam Abi Al-Hasan bin Isma’il Al-Asy’ari.
c) Model ‘Abd
Al-Jabbar bin Ahmad
d) Model
Thahawiyah
II. Penelitian Lanjutan
Selain
penelitian yang bersifat pemula sebagaimana yang tersebut diatas dalam bidang
ilmu kalam ini juga dijumpai penelitian yang bersifat lanjutan. Yaitu
penelitian atas sejumlah karya yang dilakukan oleh para peneliti pemula
berbagai hasil penelitian lanjutan ini dapat dikemukakan sebaga berikut:
a) Model Abu Zahrah
b) Model Ali Mustafa Al-Ghurabi
c) Model Al-Lathif Muhammad Al-‘Asy.
3.Ilmu Tasawuf
Tasawuf merupakan salah satu bidang
studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia
yang selanjutnya dpat menimbulkan akhlak mulia, dari segi kebahasaan terdapat
sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun
Nasution misalnya menyebutkan 5 istilah yang berhubungan dengan tasawuf yaitu
Al-Suffah yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari mekkah ke madinah, saf,
yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan salat berjamaah, sufi yaitu
bersih dan suci, soffos (bahasa yunani: hikmah). Jika
dilihat dari sudut pandang manusiasebagai makhluk yang terbatas, tasawuf dapat
didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia dan memusatkan perhatian kepada Allah.selanjutnya, jika sudut
pandang yang digunakan adalh bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang,
tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya memprindah uapay diri dengan akhlak
yang bersumber pada ajaran agama islam untuk emndekatkan diri kepada Allah.
Tasawuf atau sufisme adalah salah
satu jalan yang diletakkan oleh Allah didalam lubuk islam dalam rangka
menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupam rohani bagi jutaan manusia yang
sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan
al-qur’an dengan menempatkan pengertian yang profosional sebgaimana yang telah
disebutkan diatas, tanpa tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan, kemunduran,
atau semacamnya, melainkan justru memperlihatkan ketangguhan jiwa dalam
menghadapi berbagai problema hidup yang senantiasa datang silih berganti.
Dengan demikian dari segi kebahasaan
tasawuf menggambarkan keadaan yang berlalu berorientasi kepada kesucian jiwa,
mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sedehana, mengutamakan kebenaran,
dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap
demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh memiliki daya tangkal
yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Tasawuf dari segi istilah terdapat tiga sudut pandang
yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Pertama,
sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas; kedua, sudut pandang
manusia sebagai makhluk yang harus berjuang; dan ketiga, sudut pandang
manusia sebagai makhluk bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai
makhluk yang terbatas, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan
diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian
hanya kepada Allah. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah
pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat
didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada
ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan jika sudut pandang
yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, tasawuf dapat
didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang
dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat
menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika ketiga definisi tasawuf tersebut satu dan lainnya
dihubungkan, segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa
dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh
kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan
memancarkan akhlak mulia. Tasawuf secara hakiki memasuki fungsinya dalam
mengingatkan kembali manusia siapa ia sebenarnya.
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang
diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya
pelaksaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah
berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan Al-Qur’an.
Dengan menempatkan pengertian yang proporsional
sebagaimana telah disebutkan di atas, tampak tasawuf tidak mengesankan
keterbelakangan, kemunduran, atau semacamnya, melainkan justru memperlihatkan
ketangguhan jiwa dalam menghadapi berbagai problema hidup yang senantiasa
datang silih berganti.
2. Tokoh-tokoh
Tasawuf dalam Sejarah
Tokoh-tokoh tasawuf yang terkenal dalam sejarah antara
lain Hasan al-Bashri, Ibrahim bin Adham, Rabiah al-Adawiyah, Abu Yazid
al-Bustami, Zunnun al-Mishri, Ibn Arabi, dan al-Ghazali.
Kemunculan para sufi sebagiannya telah membuka
perdebatan yang sengit dengan kaum syari’at. Mereka dituduh mengabaikan
syari’at dengan ungkapan-ungkapan yang menjurus syirik. Hal tersebut akibat
perbedaan yang jauh antara pengalaman spiritual yang diperoleh kaum sufi dengan
patokan-patokan baku hukum fiqih yang tanpa kompromi. Tak dapat diabaikan
faktor polotok yang turut memperkuat penghakiman sebagai menyimpang terhadap
kaum sufi seperti yang menimpa al-Hajjaj.
Hasan al-Bashri lahir di
Madinah pada 21 H/642 M dan wafat di Bashra pada 110 H/729 M. ia tumbuh dalam
lingkungan yang shaleh dan memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam. Ia
banyak belajar dari Ali bin Abi Thalib dan Huzaifah bin al-Yaman, dua sahabat
Nabi yang banyak menimba pengetahuan kerohanian.
Rabi’ah al-Adawiyah yang wafat
pada tahun 801 M memiliki ajaran al-Mahabbah. Bagi Rabi’ah, zuhud
dilandasi oleh mahabbah (rasa cinta) yang mendalam. Kepatuhan kepada Allah Swt.
pada pemikiran tasawufnya bukanlah tujuan karena ia tidak mengharapkan nikmat
surga dan tidak takut azab neraka tetapi ia mematuhi-Nya karena cinta
kepada-Nya.
Rabi’ah dilahirkan di Bashra. Kemudian ia hidup
sebagai hamba sahaya. Dalam kehidupan demikian, ia menghabiskan waktunya
sepanjang malam untuk shalat dan dzikir.
Dapat dipastikan bahwa Rabi’ah adalah peletak dasar
doktrin al-mahabbah dalam tasawuf. Menurutnya, cinta kepada Ilahi mempunyai dua
bentuk yaitu cinta rindu dan cinta karena Dia yang layak dicintai. Menurut
al-Ghazali, mungkin yang dimaksud cinta rindu ialah cinta kepada Allah Swt.
karena kabaikan dan karunia-Nya kepadanya.
Adapun cinta kepada-Nya karena Dia layak dicintai
ialah cinta karena keindahan dan keagungan-Nya, yang tersingkap kepadanya. Dan
yang terakhir inilah cinta yang paling lujur dan mendalam serta merupakan
kelezatan yang tiada taranya.
Ajaran tasawuf Zunnun al-Mishri (w. 860 M)
adalah al-Ma’rifah. Bahkan Zunnun disebut sebagai bapak al-Ma’rifah.
Menurutnya, al-Ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati
sanubari dapat melihat Tuhan. Pengetahuan hakiki adalah yang dimiliki kaum sufi
dan pengetahuan ini disebut Ma’rifah. Ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi,
yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Ma’rifah dimasukkan
Tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya penuh dengan cahaya.
Tokoh lain yang mengembangkan tingkat ma’rifat adalah al-Junaid
al-Baghdadi (w. 867 M). Menurut al-Junaid, manusia memiliki wujud yang
lebih riil sebelum mendapat wujudnya di dunia ini, yaitu wujud rohani yang
disebutnya wujud rabbani, yang diciptakan Tuhan di dalam azal dan
bagi azal. Dengan wujud rabbani itulah manusia dapat mengenal Tuhan
secara langsung yang disebut ma’rifat. Apabila ma’rifat itu telah tercapai maka
itulah saatnya diri yang mengenal kehilangan wujudnya dalam Wujud Yang Dikenal.
Karena itu dalam pandangan orang arif yang sudah sampai ke taraf demikian, yang
ada hanya satu, Allah Swt.
Ajaran tasawuf Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M)
adalah al-Fana wal-Baqa. Yang dimaksud al-Fana adalah penghancuran diri
(al-fana anin-nafs). Artinya adalah hancurnya perasaan atau kesadaran
tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut para sufi, fana berarti
sirnanya sifat yang tercela yang dibarengi dengan baqa, yaitu munculnya
sifat yang terpuji. Kalau sufi sudah mencapai tingkat ini maka yang akan
tinggal adalah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan.
Ajaran tasawuf al-Hallaj (w. 922 M) adalah al-Hulul.
Yaitu faham bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan. Menurut al-Hajjaj, Allah mempunyai dua sifat dasar yaitu ketuhanan
lahut dan kemanusiaan nasut. Dalam diri manusia terdapat sifat
ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian
persatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi dan persatuan ini mengambil
bentuk hulul (mengambil tempat). Pada hulul terkandung kefanaan total
kehendak manusia dalam kehendak Ilahi. Setiap tindakan manusia berasal dari
Tuhan.
Al-Ghazali tampil
dalam khazanah tasawuf sebagai tokoh penengah. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad
al-Ghazali (450 H/1058M-505/1111M). Tokoh ini demikian berpengaruh di dunia
Islam. Ia lahir di Thus. Pada waktu muda ia belajar teologi pada al-Juwaini di
Nisyafur. Ia kemudian menjadi begitu masyhur sebagai ahli teologi dan sains
agama, sehingga pada usia muda ia diundang ke Baghdad untuk menjabat guru besar
pada universitas Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang wazir
Bani Saljuk adalah pengusaha di Baghdad yang menggantikan Bani Buwayh.
Perjalanan intelektualnya berakhir setelah ia
mendalami tasawuf dan tampaknya ia memiliki puncak kepuasannya di dunia
tasawuf. Segala jabatan duniawi ia tinggalkan kemudian ia memutuskan kembali ke
Thus. Karyanya yang paling monumental adalah Ihya Ulumuddin.
Karya yang dapat disebut sebagai magnum opus al-Ghazali mengenai etika
spiritual. Al-Ghazali menulis karya logika dan filsafat. Namun menurut Nasr kehebatannya
di bidang ini bukan dalam mengulas melainkan memberikan kritik pada pemikiran
filsafat.
Al-Ghazali dapat disebut sebagai tokoh pertama yang
mencoba mengkompromikan ajaran tasawuf dengan syari’at. Ajaran-ajaran tasawuf
yang mulanya seperti terpisah dari syari’at oleh al-Ghazali diformulasikan
sedemikian rupa sehingga menjadi amalan yang sah di kalangan kaum muslimin
sunni. Pada saat yang bersamaan ia berhasil mengurangi pengaruh filsafat
Peripatetik di dunia Islam. Bahkan akibat umat Islam tidak lagi menyukai
filsafat terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa al-Ghazali anti
intelektual seperti komentar Philip K. Hitti dan Sultan Takdir Alisyahbana.
Ajaran tasawuf al-Ghazali tampak jauh berbeda dengan
ajaran tasawuf yang lain. Dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghazali cenderung
ortodokoks dan moderat, sedangkan ajaran tasawuf yang lain cenderung bebas,
ekstrim dan dianggap berisiko terhadap kepercayaan seseorang. Hal ini terdapat
pada ajaran-ajaran tasawuf yang dianut oleh Zunnun al-Mishri, Abu Yazid
al-Bustami dan al-Hajjaj.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah merekam bahwa Islam sebagai agama Universal justru mendapat
tantangan dari dirinya sendiri (Universalitas). Setiap pemeluk islam
jika melihat ke dalam keluasan aspek dan pembahasannya maka meniscayakan
beragamnya pendapat dan pandangan , tak ayalnya samudera tak bertepi, islam
berusaha untuk selalu “diarungi” sejauh dan sedalam mungkin. Maka dari itu,
kita melihat banyaknya kaum muslimin baik perorangan atau kelompok yang
senantiasa berusaha sekuat mungkin untuk menemukan hakikat ajarannya yang Universal.
Tak heran jika terjadi gesekan pandangan dan perbedaan pendapat yang mengemuka.
Namun, bagi kami justru hal ini merupakan anugerah yang memperkaya khazanah
keilmuan islam.
Perbedaan yang terjadi pada ranah teologi, politik, tasawuf, hukum hingga
bangunan filsafat dan yang lainnya memberi warna dan corak tersendiri bagi
dinamika peradaban Islam. Dari pemaparan kami di atas, dapat pembaca bayangkan
betapa kayanya peradaban yang dibangun oleh Islam dan semua hal itu adalah buah
hasil dari pergesekan, perbedaan dan dialektika yang terjadi di sepanjang
sejarah islam.
Terlalu naif rasanya jika kami harus menyimpulkan ( menyempitkan ) keluasan
khazanah yang dimiliki Islam. Namun, jika diizinkan kami ingin memberi catatan
akhir bagi pemaparan pembahasan kami bahwasanya jika kita tarik ke kehidupan
beragama kita saat ini, tentu kita seharusnya meneladani semangat yang
diwariskan oleh para penyambung keagungan pesan yang terkandung dalam Islam.
B. Saran
Semoga Allah memberikan keberkahan terhadap makalah yang telah kami susun
ini. Tentunya kami juga berharap partisipasi dari para pemabaca untuk
memberikan keritikan dan saran demi perbaikan karya kami selanjutnya.
Mohon maaf, jika makalah yang singkat ini didapati berbagai kesalahan baik
dari segi penulisan, referensi dan lainnya, kami mengharap kritik dan saran
yang membangun dari pembaca khususnya dari pihak pengajar (Dosen).
DAFTAR PUSTAKA
Buchori,
Didin Saefuddin. 2005. Metodologi Studi Islam. Bogor : Granada Sarana
Pustaka
M. Ali
Hasan. 2000. Studi Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada
Nata,
Abuddin. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
Ramadan,
Tariq. 2003. Menjadi Modern Bersama Islam. Jakarta : Terajau
Muchtar Yahya dan Fathurrahman, dasar-dasar pembinaan
hokum islam, (bandung: Al-Ma’arif, 1986), cet.ke-10 hlm. 15
Ibid, hal 15
A. Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta:
Bulan bintang, 1979), cet. III, hlm, 10
Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang,
Abdul Hadi W.M. dari judul asli Living Sufism(Jakarta: pustaka Firdaus, 1985),
cet. I, hlm.40